JAKARTA, Waspada.co.id – Demi menjaga ketahanan energi nasional, PT Pertamina (Persero) telah mengakuisisi Participating Interest (PI) di 25 blok migas luar negeri yang tersebar di 13 negara dalam dua dekade terakhir.
Akuisisi ini dilakukan dengan pembiayaan melalui global bond senilai puluhan miliar dolar AS. Namun, langkah strategis ini memicu kritik terkait transparansi, efektivitas, dan manfaat langsung bagi kebutuhan energi nasional tampaknya gagal.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa hingga saat ini produksi minyak dari PI Pertamina di 13 negara tersebut hanya mencapai 156.000 barel per hari (BOPD), jauh dari harapan.
Ironisnya, menurut Yusri, informasi mengenai berapa volume minyak dari produksi ini yang dipasok untuk kilang Pertamina sendiri masih sangat tertutup, seperti lembaga intelijen.
“Bandingkan dengan Blok Rokan yang diambil alih dari Chevron pada 2018. Dengan biaya USD725 juta untuk signature bonus dan komitmen kerja pasti sebesar USD500 juta selama lima tahun, blok tersebut menghasilkan produksi sekitar 165.000 BOPD,” ujar Yusri dalam rilis yang diterima wartawan, Jumat (7/2).
Sementara itu, pada 2015–2019, Pertamina memutuskan untuk mengakuisisi 72,65% saham perusahaan migas asal Prancis, Maurel & Prom, senilai 700 juta euro. Perusahaan ini memiliki aset produksi migas di Gabon, Tanzania, dan Nigeria. Namun, CERI mengkritik langkah ini karena tidak memberikan kontrol penuh terhadap aset produksi migas tersebut.
“Kami sudah berulang kali mempertanyakan alasan akuisisi ini sejak 2016 hingga 2020, tetapi Pertamina tidak pernah memberikan penjelasan yang memadai. Fakta yang kami dapatkan, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) justru harus mengikuti tender untuk membeli Rabi Light Crude, minyak mentah yang diproduksi dari aset Maurel & Prom sebesar 600.000 barel setiap bulan,” kata Yusri.
Yusri juga mempertanyakan manfaat dari total produksi 156.000 BOPD dari PI Pertamina di luar negeri. “Berapa persen dari total produksi itu yang langsung dipasok ke kilang Pertamina tanpa mekanisme tender? Pertanyaan ini harus dijawab secara transparan,” tegasnya.
Kontroversi ini semakin tajam setelah laporan hasil audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap potensi kerugian negara sebesar 60 juta euro atau sekitar Rp1,014 triliun dalam akuisisi Maurel & Prom.
CERI mengaku telah melayangkan konfirmasi resmi kepada CEO PT Pertamina Internasional EP (PIEP), Jafee A. Suardin, pada 3 Februari 2025, namun hingga 5 Februari 2025 belum ada tanggapan. Surat konfirmasi tersebut juga ditembuskan ke Menteri BUMN, Menteri ESDM, Dirjen Migas, SKK Migas, serta Dewan Komisaris dan Direksi Pertamina Holding.
Dengan defisit minyak nasional yang mencapai 1 juta barel per hari, sebagaimana disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, publik berhak mengetahui sejauh mana investasi Pertamina di luar negeri benar-benar berkontribusi terhadap kebutuhan energi nasional.
Transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi menyeluruh atas kebijakan akuisisi PI di luar negeri menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap perusahaan energi terbesar di Indonesia ini. (wol/rls/red)
Discussion about this post