MEDAN, Waspada.co id – Akademisi Universitas Sumatera Utara, Roy Fachraby Ginting, merasa prihatin dengan kondisi Pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 melawan kotak kosong.
Menurutnya, adanya kotak kosong merupakan bukti kemunduran demokrasi kita yang semakin memprihatinkan dan rakyat merasa demokrasi ini sebuah permainan elit yang memiliki akses politik dan pemilik modal.
Roy juga melihat masyarakat sangat ramai membicarakan proses Pilkada tahun 2024 ini. Maraknya fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dinilai mencerminkan kemunduran demokrasi karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang tidak ideal.
“Saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah hingga akhir agustus 2024 yang lalu. Itu artinya, mereka berpeluang melawan kotak kosong. Untuk itu, KPU memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah hingga 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru,” tuturnya.
Roy menerangkan, Pilkada 2024 kali ini akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia apabila tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya pada masa perpanjangan itu.
“Hal ini tentu sebuah bukti kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang,” terangnya.
“Jadi ya sudah, diborong saja partai itu semua dalam satu perahu besar. Sudah barang tentu hal ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan dan secara politik dan itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih,” beber Dosen Hukum Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU tersebut.
Roy mengakui, fenomena kotak kosong dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam formalitas bagi masyarakat karena fenomena kotak kosong ini mulai muncul pada 2015 dan semakin marak terjadi di setiap penyelenggaraan pilkada serentak.
Padahal, hadirnya hanya satu pasangan calon atau paslon tunggal dalam pilkada dapat mengancam demokrasi dengan apatisnya masyarakat untuk ikut memilih dan berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah serta lahir sikap apatis rakyat untuk ikut Pilkada, karena berasumsi bahwa pemilik modal yang akan menang dalam pertarungan.
“Pilkada melawan kotak kosong merupakan wujud dari lemahnya daya saing dan ketidakberanian melakukan kompetisi dalam pertarungan. Lawan dikalahkan sebelum maju dalam pertempuran,” ujarnya seraya menyebutkan pertarungan yang sejati adalah saat ada lawan yang ada di hadapan, sehingga bila kemenangan yang diraih, atau kekalahan yang didapat, semua merupakan wujud ketangguhan dan keberanian yang sebenarnya.
“Kasus Pilkada 2024 melawan kotak kosong ini adalah kesalahan partai yang gagal melakukan kaderisasi. Dan dilain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah. Seharusnya partai menyiapkan calon-calon pemimpin,” beber Roy.
Ia menambahkan, penyebab utama dari fenomena ini adalah sistem politik yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam demokrasi, transisi kekuasaan dilakukan melalui mekanisme elektoral yang melibatkan partai politik sebagai instrumen utama untuk rekrutmen dan seleksi kepemimpinan, termasuk dalam pilkada, katanya.
“Regulasi ambang batas pencalonan yang tinggi juga faktor yang turut berpengaruh walaupun sudah ada keputusan MK yang terbaru,” pungkasnya. (wol/lvz/d2)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post