MEDAN, Waspada.co.id – Politik berbiaya tinggi dan mahal tidak terlepas dari peranan elit politik di Indonesia. Perjuangan pasca reformasi justru membuat biaya dan ongkos politik justru semakin mahal.
Hal tersebut dikatakan Akademisi Universitas Sumatera Utara, Roy Fachraby Ginting, Minggu (1/9). Menurutnya, pasca reformasi justru elit politik di Indonesia dipertontonkan dengan tumbuhnya politik yang melahirkan pimpinan partai secara vulgar mempertontonkan partai milik elit politik.
“Ketua umum partai secara terbuka memajukan anak atau menantu atau elit keluarga terdekat menjadi pimpinan atau pengurus partai dan hebatnya ditunjuk pula di eksekutif sebagai pejabat perwakilan partai,” ujarnya.
Roy mengungkapkan, pasca reformasi justru perilaku politik transaksional semakin memungkinkan melahirkan elit politik yang korup berlandaskan pada sifat dan gaya nilai-nilai transaksional yang lebih mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya saja.
“Biaya politik itu semakin mahal ketika masyarakat sebagai pemilik suara semakin menyadari bahwa suara mereka hanya berharga di saat Pemilu dan setelah itu elit politik tidak akan peduli kepada para pemilih dan kesadaran itu berkembang dalam realitas kehidupan masyarakat dalam berpolitik,” ungkapnya.
Ia menuturkan, sistem politik itu berbiaya tinggi karena masing-masing antara para elit politik, para pemodal dan para pemilih dan konstituen memainkan peran yang membuat biaya atau ongkos politik semakin lama semakin mahal. Pemodal butuh biaya yang dikeluarkan sepadan dengan nilai keuntungan yang diperoleh.
Demikian juga elit politik mempergunakan kekuasaan untuk memulangkan modal dengan ditambah keuntungan dan fasilitas yang didapatkan selama berkuasa dan dan rakyat semakin mengerti bahwa suara mereka sangat dibutuhkan dan layak untuk diperdagangkan.
“Pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2024 ini juga masih memperlihatkan berbagai fakta politik transaksional dengan terjadinya barter politik, politik biaya tinggi dan politik uang dalam perilaku memilih,” tuturnya perilaku politik transaksional yang terjadi ini mencoreng tujuan demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu yang berakibat pada proses pemilu yang tidak demokratis.
“Dengan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat dengan munculnya perilaku pejabat terpilih yang korup. Pemilihan yang ideal dalam sebuah pesta demokrasi didasari dengan kesamaan visi misi, kesamaan ideologi, ketertarikan pada program kontestan serta dilaksanakan dengan menjunjung nilai-nilai dan norma demokrasi yang terdapat di masyarakat,” ujar Roy.
Ia juga melihat praktik jual beli suara disebut sebagai elemen terbesar dari mahalnya biaya politik di negeri ini. Sehingga biaya tinggi pada politik menyebabkan ekonomi tinggi.
“Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tinggi dan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu memerlukan biaya lebih banyak dibandingkan negara-negara lain,” pungkasnya. (wol/lvz/d2)
Editor: Rizki Palepi
Discussion about this post