TAKIKAWA, Waspada.co.id – Di tengah tebalnya salju yang menyelimuti desa kecil di Prefektur Hokkaido, keluarga Tomoko Wakano menjalani kesehariannya dengan penuh kehangatan. Saya bersama ketiga teman berkesempatan menghabiskan sembilan jam bersama mereka, menyaksikan bagaimana kehidupan yang sederhana di tengah modernisasi yang kian merajalela.
Kebersamaan ini merupakan rangkaian dari kegiatan Program JENESYS 2024. Program ini merupakan sebuah program interaksi internasional “Japan’s Friendship Ties Program” yang dipromosikan oleh pemerintah Jepang, dan program pertukaran perorangan yang dilakukan antara negara-negara serta Asia-Oceania dan Jepang.
Kegiatan dimulai di pagi hari, di mana saya beserta tiga teman lainnya bertemu dengan keluarga angkat di balai masyarakat di Kota Takikawa. Setelah bertemu dan ngobrol kurang lebih 10 menit, kami pun langsung bergegas ke kediaman keluarga Wakano.

Setelah sampai, kami pun disambut anak bungsu Wakano bernama Asahi berusia 9 tahun. Tak sampai di situ, selang 15 menit, teman serta kerabat ibu Wakano datang dengan membawa berbagai bahan masakan untuk membuat onigiri, dorayaki, serta miesoba.
Suasana penuh keakraban mulai terasa saat kami semua duduk melingkar di ruang tamu yang hangat, membaur dalam obrolan ringan antara bahasa Jepang, Inggris, dan Indonesia.
Keluarga Wakano ternyata memiliki ketertarikan terhadap budaya Indonesia. Sang ibu, kerap mencari informasi tentang Indonesia, mulai dari tempat wisata dan makanan khas Indonesia.
Anak bungsu mereka, Asahi, dengan penuh antusias menunjukkan koleksi mainannya seperti beyblade dan PS 4. Dia bahkan menunjukkan perlengkapan olahraga kendo, yang telah dipelajari kurang lebih tiga bulan lalu.
Siang harinya, kami diajak untuk memasak bersama. Saya diberi kesempatan untuk mencoba membuat takoyaki, sementara teman-teman lainnya membantu menyiapkan bahan untuk membuat mie goreng dan dorayaki. Proses memasak ini menjadi ajang pertukaran budaya yang menyenangkan, di mana kami saling berbagi resep dan teknik memasak khas masing-masing negara.
Setelah makan siang, kami berbincang tentang perbedaan dan persamaan kehidupan di Jepang dan Indonesia. Dari cuaca hingga sistem pendidikan, diskusi berjalan lancar dan penuh tawa.

Menjelang sore, kami diajak bermain di luar rumah. Asahi dan beberapa teman ibu Wakano mengajari kami cara bermain permainan musim dingin khas Jepang seperti “Yuki Gassen” (perang bola salju). Keakraban yang terjalin terasa begitu alami, membuktikan bahwa budaya dan bahasa bukanlah penghalang untuk membangun hubungan yang hangat.
Setelah pulang, kami juga diajak membuat kerajinan lampion. Di mana sebelum membuat, teman ibu Wakano mempraktikkannya terlebih dahulu. Setelah selesai, kerajinan lampion itu langsung dipergunakan di luar rumah.
Malam hari tiba, dan kami semua berkumpul di ruang tamu untuk menikmati sushi sambil berbincang santai. Keluarga Wakano bercerita tentang kehidupan sehari-hari mereka di desa kecil ini, serta tantangan yang mereka hadapi di tengah modernisasi yang berkembang pesat.
Sembilan jam terasa begitu cepat berlalu. Momen kebersamaan dengan keluarga Wakano tidak hanya memberikan pengalaman baru tentang kehidupan di Jepang, tetapi juga menunjukkan betapa eratnya hubungan antar budaya bisa terjalin melalui interaksi sederhana.
Di akhir kunjungan, kami berpamitan dengan perasaan hangat dan harapan untuk bisa bertemu kembali. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa di mana pun kita berada, selalu ada kehangatan dalam persahabatan dan kebersamaan.
“Arigatou Gozaimas,” katanya singkat dengan penuh senyum. (wol/ari/d2)
Discussion about this post