Oleh : Irawati Chisy Kalandi Gultom, SH
Waspada.co.id – Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 semakin intens menyemarakkan lini masa media sosial kita. Berbagai jargon-jargon, tagar, slogan dan podcast-podcast figur publik hingga candaan sudah akrab di telinga warga Indonesia. Tidak jarang, figur public di Indonesia kerap menunjukkan preferensi politiknya beserta gaya kekinian khas anak muda agar terlihat gaulnya dan up to date (update). Pemilu menjadi satu-satunya kesempatan rakyat terlibat langsung dalam menentukan arah bangsa dan negara untuk periode mendatang.
Pemilu serentak 2024 sudah berjalan tahapannya sejak KPU membentuk jadwal tahapan pada 14 Juni 2022 atau tepatnya sejak 20 bulan sebelum hari pemungutan suara yang ditetapkan pada 14 Februari 2024. Namun, sampai kini pemilu sebenarnya baru terasa di beberapa kalangan saja, seperti penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik, bakal calon legislatif serta para simpatisan.
Secara keseluruhan di masyarakat, suasana pemilu sebenarnya belum begitu terasa, tahapan yang benar-benar bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah tahapan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) Data Pemilih. Yang mana, kegiatan verifikasi yang dilakukan Panitia Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) yang mendatangi rumah-rumah warga untuk memastikan daftar pemilih setiap kepala keluarga. Sejatinya, pemilu baru terasa pesta demokrasi di tengah masyarakat ketika memasuki tahapan Penetapan Calon Legislatif, Pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden dan memasuki tahapan kampanye. Gegap gempita di seluruh tanah air akan merasakan saat itu. Rakyat mulai memberikan dukungan mereka pada sosok calon yang diberi mandat untuk mewakili suara rakyat untuk 5 (lima) tahun ke depan.
Ditengah pesta demokrasi saat semaraknya dukungan itu pula tentunya akan adanya potensi terjadinya polarisasi politik dukungan dari simpatisan dan rakyat terhadap calon pemimpin negeri harapan mereka.
Polarisasi politik menjadi salah satu istilah yang semakin sering kita dengar belakangan ini di dunia politik. Fenomena ini merupakan hasil dari perpecahan masyarakat dalam pandangan dan dukungan politik mereka. Polarisasi politik menjadi suatu hal yang diwaspadai banyak pihak menjelang Pemilu 2024. Namun, polarisasi politik lebih besar dampak negatifnya karena membahayakan dampak bangsa dan Negara, mengingat setiap polarisasi juga dibumbui dengan terkotak-kotaknya pendukung, simpatisan dan rakyat.
Mereka menunjukkan dukungan dan bahkan saling serang dengan berbagai macam cara demi satu tujuan untuk memenangkan sosok yang mereka dukung. Caranya pun berbagai macam, dengan memanfaatkan politik identitas maupun kampanye hitam. Tindakan inilah yang membahayakan bangsa dan Negara karena menimbulkan perpecahan pada rakyat.
Fenomena polarisasi politik terjadi dalam Pemilihan Presiden 2019, pasangan calon yang maju pada waktu itu Joko Widodo-Ma’aruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalam kampanye, kedua pasangan calon saling menyerang dan mengkritik satu sama lain, bahkan terdapat isu-isu yang bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) akhirnya terjadi di antara pendukung mereka. Kedua ini juga berseberangan dalam banyak hal, dan keduanya memiliki pendukung yang tergolong cepat terbentuk serta cukup ekstrem. Tema atau idealisme yang dibawa oleh kedua pasangan calon juga berbeda dan menggandeng kelompok yang berbeda pula. Fenomena ini membuat polarisasi politik semakin jelas terjadi di kalangan masyarakat dan membuat pemilih masing-masing kubu menunjukkan keberpihakan di media sosial.
Belum lagi, potensi para pendengung (buzzer) yang memainkan “nada” posting-an, berita misinformasi, konten opini yang mengarah pada muatan negatif, sumber-sumber fakta yang validitasnya masih diragukan, dan banyak lagi, semakin memperkuat polarisasi yang ada di antara dua kubu berseberangan. Di tahun itu, dengan maraknya disinformasi melalui media sosial oleh para buzzer, pemerintah mengambil kebijakan untuk memadamkan internet, yang berujung menyalahi aturan juga
Integrasi Bangsa
Polarisasi sangat merugikan dan berbahaya bagi integrasi Indonesia. Sebab efek yang ditimbulkan yakni, memecah belah masyarakat dan anak bangsa. Sehingga polarisasi politik tidak boleh terjadi lagi pada pesta demokrasi Tahun 2024.
Setidaknya beberapa faktor terwujudnya pemilu sebagai sarana integrasi bangsa yakni Pertama, bahwa penyelenggaraan pemilu harus berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena jika penyelenggaraan pemilu sudah sesuai ketentuan, maka kepercayaan masyarakat atas hasil pemilu akan kuat dan sulit terbantahkan. Berbeda jika penyelenggaraannya tidak sesuai dengan ketentuan, maka hasilnya akan diragukan masyarakat. Kedua, faktor yang dapat mewujudkan pemilu sebagai integrasi bangsa adalah peserta pemilu yang mematuhi peraturan. Proses kepemiluan diikuti sesuai regulasi, tidak mencari celah hukum untuk membenarkan tindakannya.Tidak mengeksploitasi politik identitas dan sportif dalam berkompetisi. Ketiga, warga yang memiliki hak pilih menjadi pemilih berdaulat, menjadi pemilih cerdas, memilih dengan pertimbangan rasional bukan emosional apalagi politik transaksional.
Pemilu 2024 diharapkan tidak lagi mempolarisasi masyarakat yang dapat menyebabkan perpecahan bahkan disintegrasi bangsa. Upaya meminimalisir perpecahan masyarakat dimulai dengan menanamkan mindset bahwa Pemilu nanti harus dapat menyatukan masyarakat, menghargai dan menghormati pilihan politik yang berbeda serta menerima hasil pemilu dengan legowo.
Kita semua berharap dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih dan pemerintah bahwa kontestasi pemilu 2024 nanti akan benar-benar menjadi sarana integrasi bangsa.
Adu Gagasan
Polarisasi Politik dapat muncul karena faktor identitas politik yang masih menjadi ancaman pada Pemilu serentak Tahun 2024, oleh karenanya politik identitas perlu mendapatkan perhatian serius dari seluruh stakeholder kepemiluan. Untuk meminimalisir politik identitas pemilu 2024 harus didorong oleh semua pemegang kepentingan menjadi kontestasi yang penuh dengan adu gagasan.
Kontestasi pertarungan gagasan atau debat tersebut bertujuan untuk integrasi kehidupan bangsa. Dengan catatan apa yang disampaikan mengandung kebenaran yang harus diakui oleh para kontestan.
Saya berharap Pemilu tahun 2024 ini menjadi tahun politik yang penuh adu gagasan dan adu rekam jejak antar peserta pemilu. Cara yang paling baik dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden adalah dengan membandingkan gagasan para calon. Dengan begitu, maka para calon akan dipaksa adu gagasan dan saling lempar rekam jejak. Sehingga rakyat sebagai pemilih menjadi tercerahkan. Atmosfer pemilu yang sudah hangat ini menjadi gelagat kembalinya polarisasi jika tidak dikelola dengan baik, terutama oleh para elite politik. Yang paling konkret, Pemilu 2024 diwarnai adu gagasan dan rekam jejak dan jangan beri ruang polarisasi.
Penulis adalah Anggota Panwaslu Kecamatan Medan Kota
Discussion about this post