Oleh: Ulfa Rahmah
Waspada.co.id – Saat ini demo bukan lagi cara yang efektif untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat maupun mahasiswa, yang bertujuan supaya ada tindakan dari pemerintah untuk mendengar suara rakyat. Cara lain yang bisa dipakai yakni membuat sebuah kasus atau persoalan tersebut viral lebih dulu, karena tidak ada gunanya turun langsung ke jalanan untuk demo apabila pemerintah tidak menghiraukan aspirasi yang disampaikan itu.
Malah, mahasiswa yang turun ke jalan kerap dikomentari ngapain demo, bikin macet doang. Mending belajar sana. Betapa banyaknya mahasiswa yang turun ke jalan untuk sebenaranya untuk menyuarakan aspirasi masyarakat tapi justru malah diomelin. Ditambah lagi ketika mahasiswa berdemo kerap diabaikan oleh instansi atau pemerintah setempat.
Parahnya lagi mahasiwa yang kadang kala mendapatkan pukulan, bahkan tembakan gas air mata dari aparat keamanan saat kericuhan dalam demo besar-besaran. Tentu ini sangat beresiko bagi keselamatan orang-orang yang terlibat dalam demo itu, padahal wajar rasanya bila demo mahasiswa berakhir ricuh bila aspirasi yang disuarakan tidak mendapatkan tanggapan langsung dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Maka sudah tentu di saat ini demo dengan cara memviralkannya terlebih dahulu merupakan cara yang lebih efektif dan efesien tanpa perlu membuang waktu dan tenaga, tidak terjadinya tumpah darah. Bahkan dengan cara ini pihak yang berwenang dapat mengetahuinya secara langsung. Bahkan cara ini termasuk dalam demokrasi yang bebas sebagaimana bunyi UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Negara memberikan jaminan dan perlindungan mengenai kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tercantum dalam Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 25.
Merujuk pada peraturan tersebut, masyarakat bebas untuk berpendapat sesuai hati nuraninya dalam berbagai media dengan memperhatikan kepentingan umum dan bertanggung jawab sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu kelebihan lain dari cara ini, seluruh masyarakat luas bisa mengetahui dan ikut menyuarakan demi kemajuan bangsa dan daerahnya.
Misalnya saja, baru-baru ini kasus viral yang dilakukan oleh akun @awbimaxreborn seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan pengguruan tinggi di Australia, mengkritik Pemerintahan Provinsi Lampung karena lambannya memperbaiki jalan yang rusak. Speak up yang dilakukan rupanya mendapat respon berupa dugaan intimidasi terhadap keluarganya, meski di sisi lain banyak masyarakat mengapresiasi dan memberikan dukungan. Bahkan beberapa pejabat pemerintah mendukung atas apa yang disampaikannya, seperti Mahfud MD (Menkopolhukam), Hotman Paris (Pengacara), Ahmad Sahroni (Wakil Ketua Komisi III DPR RI).
Hal ini juga pernah disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata untuk meminta bantuan kepada netizen-netizen agar memviralkan harta penjabat yang tak wajar dan patut dicurigakan, yang suka flexing, pamer dan sebagainya. Selain itu KPK juga memberi imbalan sebesar 0,2% dari jumlah kerugian keuangan negara kepada mereka yang melapor tindakan korupsi dengan catatan laporannya harus memakai dokumen lengkap sesuai dengan PP No.43 tahun 2018 pasal 17.
Intinya dapat disimpulkan bahwa the power of netizen Indonesia itu sangatlah kuat terlepas dari yang katanya netizen Indonesia itu adalah netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Namun rasa kepedulian antar sesama yang berlandaskan kebenaran dan kejujuran itu tidak bisa ditandingi oleh negara mana pun. Sudah banyak kasus-kasus yang terpecahkan melalui dunia maya, karena media sosial pada hakikatnya mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Semua orang bisa bersuara dan bisa mengeluarkan pendapat bahkan mereka yang awalnya tidak mengenal satu sama lain bisa terkumpul dalam platform sosial media yang akhirnya bersatu untuk memecahkan masalah yang ada.
*Mahasiswi Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas FISIP Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Discussion about this post