JAKARTA, Waspada.co.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penambahan masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lima tahun dinilai sarat kepentingan pribadi. Sebab, Judicial review (JR) UU KPK itu sejak awal dilakukan tanpa adanya dimensi kepentingan publik, terlebih pemberantasan korupsi.
“Fokus utama hanyalah mengakomodir kepentingan Nurul Ghufron yang belum mencukupi umurnya sesuai dengan syarat minimal 50 tahun sesuai aturan dalam UU 19 tahun 2019,” kata Ketua IM57+ Mochamad Praswad Nugraha dalam keterangannya, Jumat (26/5).
Namun keputusan itu, lanjut Praswad, juga menguntungkan komisioner KPK lainnya, termasuk Firli Bahuri.
“Permohonan masa jabatan dari empat menjadi lima tahun tidak muncul sejak awal, melainkan muncul pada proses perbaikan permohonan. Seakan adanya skenario yang diatur pada proses tersebut,” kata Praswad. Praswad menjelaskan, putusan no 112/PUU-XX/2022 itu tidak bisa diterapkan pada era kepemimpinan Firli Bahuri. Dia pun menegaskan, pertimbangan hukum perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK menjadi 5 tahun yang digunakan oleh hakim MK terbantahkan dengan sendirinya melalui pertimbangan putusan yang dibacakan.
“Mengingat, apabila putusan tersebut diterapkan saat ini juga, maka proses pemilihan akan dilaksanakan oleh DPR RI periode yang sama yaitu periode 2019-2024. Karena pemilihan Komisioner KPK akan dilaksanakan bulan September 2024,” kata Praswad. Praswad lantas menduga, putusan tersebut sarat kepentingan politik 2024. Menurutnya, melalui keanehan proses pengajuan dan argumentasi yang seakan dipaksakan, maka wajar jika muncul pertanyaan publik.
Terlebih, bila diterapkan untuk masa kepemimpinan periode ini, maka terdapat potensi besar KPK akan digunakan untuk kepentingan politik 2024.
Dia menegaskan, menyeret KPK ke dalam kepentingan politik dan atau menjadikan KPK alat gebuk politik, sama dengan membunuh anak kandung reformasi, sama dengan membunuh harapan seluruh tumpah darah Indonesia untuk bisa menikmati negara yang bebas dari tindak pidana korupsi.
“Apabila dibiarkan praktek ini berpotensi merusak demokrasi dan value utama dari anti korupsi. Hal tersebut mengingat proses yg terindikasikan penuh konflik kepentingan. Untuk itu, putusan MK tersebut seharusnya tidak berlaku untuk periode kepemimpinan saat ini,” kata Praswad. (wol/viva/ryan/d2)
Discussion about this post