MEDAN, Waspada.co.id – Mujianto alias Anam warga Jalan Sudirman No. 29, Desa Kesawan, Medan ini merupakan salah satu orang ternama di Kota Medan yang dikenal sebagai pengusaha properti.
Berbeda pula di mata pegiat antikorupsi, aktivitas, hingga organisasi tertentu. Pria tamatan SMP ini disebut-sebut sebagai perampok tanah rakyat (mafia tanah). Namun, tudingan itu belum pernah terbuki secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Pernah dulu, pada tahun 2015 lalu, Pria berusia 67 tahun itu terlibat kasus tanah eks HGU di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang dengan almarhum Tamin Sukardi.
Perusahaan Mujianto membangun dan menjual ruko di lahan tersebut, namun yang dihukum malah tokoh masyarakat Tamin Sukardi.
Tak sampai disitu saja, Mujianto juga pernah menjadi buronan Polda Sumut dan masuk daftar pencaria orang (DPO), kemudian ditangkap imigrasi Cengkareng pada 2018. Saat itu, Mujianto menjadi tersangka penipuan penimbunan lahan senilai Rp3 miliar di Belawan, dengan pelapor pengusaha Armyn Lubis.
Namun kasusnya tidak sampai ke persidangan. Pasalnya, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menerbitkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2) dengan Print-01/N.2.4/Epp.1/03/2019 tanggal 12 Maret 2019 untuk Mujianto.
Terakhir, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi ini terlibat dalam kredit macet di salah satu bank plat merah yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar.
Dalam kasus ini Mujianto melakukan pengikatan perjanjian jual beli tanah kepada Canakya Suman seluas 13.680 m2 yang terletak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang.
Seiring waktu berjalan, PT KAYA dengan Direkturnya Canakya Suman mengajukan kredit Modal Kerja Kredit Konstruksi Kredit Yasa Griya di bank plat merah tersebut dengan plafon Rp39,5 miliar guna pengembangan perumahan Takapuna Residence di Jalan Kapten Sumarsono.
Kemudian, dalam proses pencairan kredit tersebut tidak sesuai dengan proses dan aturan yang berlaku dalam penyetujuan kredit di perbankan, akibatnya ditemukan peristiwa pidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp39,5 M.
Sementara dalam kasus ini sendiri, Kejati Sumut melakukan penahahan terhadap Mujianto yang merupakan direktur PT ACR. Namun, baru berapa lama merasakan dinginnya lantai penjara. Majelis hakim yang diketuai Immanuel Tarigan menangguhkan penahanannya menjadi tahanan kota.
Dengan pertimbangan, ada jaminan dari istri, penasihat hukum, ketua Yayasan Pendidikan Cemara Asri Malahayati, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Majelis Zikir Ashsholah Daarussalaam Muhammad Dahrul Yusuf dan Ketua Yayasan Pendidikan Mazila Muhammad Iskandar Yusuf.
Selain itu, uang jaminan sebesar Rp500 juta dan surat keterangan dari RS Royal Prima Medan yang menyebut Mujianto didiagnosa suspek jantung dan hipertensi yang memerlukan perawatan.
Kebijakan majelis hakim itupun membuat elemen masyarakat, baik dari mahasiswa maupun organisasi melakukan protes dan menggelar unjuk rasa di Pengadilan Negeri Medan.
Namun semua usaha itu sia-sia. Bagaimana tidak, penahanan Mujianto tetap ditangguhkan menjadi tahanan kota. Banyak yang bertanya-tanya, ada apa dengan hakim? Kenapa menangguhkan penahanan Mujianto, apalagi ia pernah menjadi DPO.
Sementara dalam persidangan, dikarenakan tidak ditahan, Mujianto terlihat sangat santai menjalani proses persidangan.
Pernah, terlihat Waspada Online Mujianto lagi bersantai duduk di salah satu sofa di Pengadilan Negeri Medan. Ia terlihat asik memainkan gawainya sembari menunggu persidangan dimulai.
Bahkan dalam persidangan pun, Konglomerat Medan itu terlihat seperti tidak mempunyai beban. Terlihat dari gaya duduknya yang mengangkat satu kakinya. Pernah juga terpantau ia tersenyum hingga ketawa kecil.
Singkat cerita, setelah melakukan proses pemeriksaan yang panjang dari sejumlah saksi-saksi, Jaksa Penuntut Umum dari Kejati Sumut pun menuntut Terdakwa Mujianto dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda Rp1 miliar dengan subsider 1 tahun kurungan.
Menurut jaksa, Mujianto terbuki melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana dan Pasal 5 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun semua kesaksian dan bukti-bukti yang diberikan jaksa dianggap “omong kosong” oleh majelis hakim. Bagaimana tidak, hakim Immanuel Tarigan malah menyatakan Mujianto tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi seperti dakwaan jaksa.
Hakim berpendapat bahwa Terdakwa Mujianto tidak tahu menahu terkait lahan yang dijual kepada Canakya Suman dan diagunkan ke bank.
“Membebaskan terdakwa, oleh karena itu dari semua dakwaan penuntut umum,” kata hakim Immanuel di Ruang Cakra VIII, Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (23/12).
Karena vonis bebas itu pula, jaksa penuntut umum mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi, sampai sekarang hasil kasasi belum keluar. (wol/ryan/d1)
Discussion about this post