Oleh: Junawi H. Saragih, SE
Waspada.co.id – Belakangan ini semakin banyak berita beredar yang membuat kita cemas terkait adanya potensi resesi ekonomi dunia. Resesi bahkan diperkirakan bisa merembet sampai ke krisis pangan dan energi. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat bahwa ada sejumlah 31 dari 72 negara negara di dunia yang berpotensi akan mengalami resesi. Bahkan beberapa negara sudah masuk ke dalam jurang resesi selama tahun 2022 seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Ukriana, dan Sri Lanka.
Luar biasanya, dari daftar tersebut tidak terdapat nama Indonesia. Apa yang mendasari bahwa Indonesia diyakini mampu keluar dari ancaman resesi global? Kalkulasi indikator pertahanan ekonomi yang relevan dan akurat adalah pondasi kuat pemerintah untuk merumuskan setiap kebijakan ekonomi.
Merujuk Wikipedia, definisi resesi adalah kondisi dimana produk domestik bruto (PDB) suatu negara sedang menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam periode satu tahun. Contoh resesi ekonomi bisa dilihat dari krisis yang menimpa Indonesia pada tahun 1998. Saat itu inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara pertumbuhan ekonomi terkontraksi hingga minus 13,7%.
Krisis tersebut kemudian menjadi pemicu runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Contoh terbaru terkait resesi ekonomi di Indonesia terjadi pada tahun 2020 di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami minus pada dua kuartal berturut-turut akibat dari pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 minus 5,32%, kemudian pada kuartal III tahun 2020 pertumbuhan ekonomi juga minus 3,49%. Hal itu membuat Indonesia dinyatakan mengalami resesi.
Resesi menjadi momok yang menakutkan bagi setiap negara karena sangat berdampak buruk bagi stabilitas sosial ekonomi politik dan keamanan suatu negara. Secara umum, dampak dari resesi ekonomi adalah adanya perlambatan ekonomi yang akan membuat sektor riil menahan kapasitas produksinya, sehingga mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja. Bahkan, beberapa perusahaan mungkin mengalami kebangkrutan.
Di sisi pemerintah, dampak dari resesi ekonomi adalah berkurangnya sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak dan nonpajak, sebab saat resesi penghasilan pekerja akan turun, akibatnya penerimaan pajak juga berkurang. Pada akhirnya, semua sektor yang menopang perekonomian menjadi lesu seiring menurunnya daya beli masyarakat.
Potret Indikator Makro Ekonomi Indonesia
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dalam tren positif, yaitu sebesar sebesar 5,01 persen (yoy) pada triwulan IV tahun 2022 dan naik sebesar 0,36% dari triwulan sebelumnya (q-to-q). Ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2013 dan jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 1,7%. Inflasi di tingkat konsumen pada Januari 2023 sebesar 5,28 persen (yoy), lebih rendah dibanding bulan Desember 2022 yang sebesar 5,51 persen (yoy). Tingkat Pengangguran Terbuka pada Agustus 2022 sebesar 5,86% (yoy). Sebaliknya, tingkat kemiskinan naik tipis sebesar (9,54%) dibandingkan kondisi Maret 2022. Jika merujuk pada indikator-indikator tersebut bisa diasumsikan bahwa Indonesia relatif masih aman karena belum ada indikasi perubahan data yang ekstrim.
Selain itu, ada tiga faktor lain yang bisa diamati untuk mengukur seberapa besar pertahanan Indonesia dalam menghadapi krisis global. Faktor pertama yaitu ketahanan sektor energi di Indonesia. Berbicara tentang energi, sederhananya kita berbicara tentang pasokan listrik dan BBM. Bisa dibayangkan tanpa listrik dan BBM aktifitas ekonomi itu bisa lumpuh karena hampir semua aktivitas masyarakat sangat tergantung pada kedua unsur tersebut. Kenyataan yang terjadi saat ini bahwa Rusia sedang dicekal oleh banyak negara, padahal Rusia adalah salah satu pemasok energi terbesar di dunia dalam bentuk gas alam, minyak bumi dan batu bara.
Pencekalan terhadap Rusia tersebut mengakibatkan ketersediaan sumber energi menjadi sangat terbatas bahkan beberapa negara di Eropa harga listriknya itu sampai naik sampai 3 kali lipat.
Bagaimana dengan pasokan listrik Indonesia? Sumber energi listrik punya ketahanan yang kuat karena lebih dari 50% listrik kita bersumber dari batu bara yang sangat berlimpah di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian SDM, kebutuhan batu bara domestik selama tahun 2022 mencapai sebesar 193 juta ton atau 116% dari target yang ditetapkan sebesar 166 juta ton. Sementara produksi batu bara tahun lalu sebesar 687 juta ton atau 104% dari target 663 juta ton.
Hal ini berarti bahwa produksi batu bara selalu di atas kebutuhan dalam negeri. Indonesia juga punya cadangan batu bara sebesar 37 miliar ton yang merupakan cadangan terbesar nomor 7 di dunia. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah ketersediaan BBM, dimana konsumsi BBM kita selalu di atas kapasitas produksi. Sejak tahun 2004 beberapa negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC menyatakan akan memangkas produksinya sebesar 2 juta barel per hari atau setara dengan 2% kebutuhan minyak dunia. Keputusan ini diperkirakan akan membuat harga minyak dunia naik lagi dan berpotensi menggerus APBN lebih dalam lagi. Jadi dari sisi BBM terus terang memang ada potensi kenaikan harga di tahun ini.
Faktor yang kedua adalah ketahanan pangan. Menurut data dari Badan Pangan Nasional, ketersediaan beras nasional sampai akhir tahun 2022 diperkirain 36,95 juta ton dengan konsumsi 30,90 juta ton. Ini berarti bahwa masih ada surplus 6,05 juta ton cadangan beras di tahun 2023. Sementara itu, Ukraina yang saat ini sedang bertikai dengan Rusia adalah salah satu produsen jagung dan gandum terbesar di dunia. Yang mana menurut data BPS, Ukraina merupakan pemasok utama biji gandum ke Indonesia yaitu sekitar 23% dari total impor. Lalu apa dampaknya terhadap ketahanan pangan Indonesia? Berdasarkan data World Instant Noodles Association per 13 Mei 2022, Indonesia merupakan negara yang paling banyak mengkonsumsi mie instan setelah China. Gandum adalah salah satu bahan baku utama pembuatan mie instan. Jadi bisa dipastikan bahwa kelangkaan pasokan gandum akan berdampak pada kenaikan harga mie instan di Indonesia. Pemerintah disarankan bergerak cepat untuk mencari sumber pasokan baru ke negara lain seperti Australia dan Argentina.
Faktor yang ketiga adalah ketahanan finansial khususnya perbankan. Ketahanan perbankan adalah sektor yang sangat vital penopang perekonomian nasional. Ada dua indikator penting dalam sektor finansial, yaitu rasio kredit macet dan rasio kecukupan modal. Biasanya kalau rasio kredit macet tinggi artinya roda ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Sementara rasio kecukupan model merupakan indikator yang dipakai untuk mengukur ketersediaan dana kas dalam menutupi risiko kerugian. Pada Oktober 2022, rasio kredit macet nasional kita ada di angka 2,72% sementara angka wajarnya menurut Bank Indonesia berkisar di angka maksimal 5,00%. Jadi rasio kredit macet perbankan kita masih tergolong wajar. Sementara itu dari rasio kecukupan modal perbankan tergolong kuat yaitu di angka 24,6%, dimana batas aman dari Bank Indonesia ada di angka minimal 8%.
Kolaborasi adalah Kunci
Terlepas dari semua hal positif tersebut kita tetap perlu waspada akan adanya potensi gejolak ekonomi yang mungkin terjadi. Hal yang pertama adalah kenaikan harga berbagi barang masih bakal berlanjut, termasuk adanya potensi kenaikan harga BBM dunia. Yang kedua adalah gelombang PHK oleh perusahaan yang kondisi keuangannya sedang merugi. Dilansir dari laman berita https://www.cnnindonesia.com/, selama tahun 2022 setidaknya ada 15 perusahaan yang melakukan PHK massal terhadap karyawannya.
Teranyar, PT. Gojek-Tokopedia, Tbk melakukan PHK terhadap sebanyak 1.300 orang atau 12% dari total karyawan. Untuk mengatasi dampak langsung dari PHK ini, maka pemerintah disarankan mengambil langkah solutif melalui penguatan ekonomi mikro seperti perdagangan, suntikan modal kepada UMKM dan memperluas bursa tenaga kerja baru bagi karyawan yang terdampak PHK.
Untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks di masa mendatang, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Kolaborasi dan sinergi yang kuat dengan para pihak terkait seperti swasta maupun masyarakat mutlak harus dilakukan. Langkah sederhana yang bisa dilakukan sebagai masyarakat adalah dengan mengatur keuangan secara bijak dan jeli dalam memilih instrumen investasi sebagai bekal mengadapi resesi.
*Statistisi BPS Provinsi Sumatera Utara
Discussion about this post