Oleh:
Mohammad Riswan Roesli
Waspada.co.id – Smong adalah kosakata bahasa simeulue yang artinya gelombang air laut yang besar dan tinggi yang timbul atau melanda daratan setelah terjadi gempa yang sangat kuat.
Pada tahun 1883 dan 1907, pulau simeulue pernah dilanda smong (tsunami). Belum ada catatan resmi tentang korban dan kerugian dalam bencana tersebut kecuali tragedi smong (tsunami) 1907 yang menyisakan cerita ditengah masyarakat bahwa banyak korban jiwa ketika itu.
Berdasarkan tutur tinular orang-orang tua, bahwa setelah terjadi gempa yang sangat kuat, air laut seketika surut, ternak kerbau yang berada di pantai berlarian menuju perbukitan dan banyak ikan-ikan yang menggelepar terdampar di pantai, sehingga penduduk beramai-ramai ke pantai untuk memungut ikan.
Mereka tidak menyadari bahwa dari kejauhan gelombang laut yang besar sedang menuju ke pantai dengan menimbulkan suara yang sayup-sayup seperti dedaunan kering terbakar dan kemudian melanda dan menenggelamkan perkampungan, termasuk penduduk yang berada dipantai. Itulah “smong” (tsunami) namanya yang dikisahkan banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Pengalaman pahit tragedi smong (tsunami) 1907 tersebut menimbulkan trauma yang mendalam dan menjadi pengalaman bagi mereka yang selamat serta sekaligus dijadikan pesan tentang bagaimana seharusnya menghadapi bencana gempa yang disusul dengan smong (tsunami).
Pesan sederhana ini telah mengkonstruk sebentuk kearifan bagi generasi simeulue pasca smong (tsunami) 1907 sebagai bentuk kecerdasan sosiokultural yang concerned akan kepedulian dan upaya penyelamatan diri sebagai wujud pengalaman pahit masa lalu. Pesan tersebut adalah.
“jika terjadi gempa yang sangat kuat disusul dengan air laut yang surut seketika, ternak kerbau seketika berlarian meninggalkan pantai, jangan memungut ikan di pantai, segeralah cari tempat dataran tinggi dan perbukitan agar selamat”.
Teriakan Smong….. Smong….. Smong…… Ketika melarikan diri untuk evakuasi merupakan magic word dan kata kunci untuk menyelamatkan diri ketika terjadi sinyal-sinyal alam tersebut diatas, yaitu; gempa yang sangat kuat, air laut yang surut seketika sehingga ikan-ikan terdampar ke pantai dan ternak kerbau di pantai yang berlarian menuju perbukitan.
Naluri yang mendorong penduduk mengungsi ke bukit-bukit dan terbukti mampu menyelamatkan mereka (atas izin dan kuasa allah swt) pada peristiwa smong (tsunami) 2004 adalah berasal dari berbagai bentuk pewarisan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman smong dari generasi terdahulu yang diturun temurunkan melalui sastra lisan “nafi-nafi” atau media tutur lainnya dari para leluhur sehingga telah menjadi pengalaman berharga dalam menghadapi bencana smong yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi.
Petuah leluhur tersebut dapat diinternalisasi sedemikian rupa sehingga mampu membangun kearifan dan selanjutnya menjadi tradisi turun temurun dan hidup ditengah masyarakat sebagai suatu sistim peringatan dini berbasis tradisi yang tidak kalah nilai dibandingkan dengan early warning system modern.
Inamura No Hi, Kearifan Lokal Menghadapi Bahaya Tsunami di Jepang
Pada peristiwa bencana tsunami yang disebabkan gempa bumi ansei-nankai, jepang tahun 1854, tsunami menerjang desa di peninsula kii (sekarang hirokawa) sebelah barat jepang.
Seorang kepala kampung, hamaguchi goryo berhasil selamatkan seluruh warganya. Ia membakar lumbung padi milik nya yang berada diatas bukit. Melihat lumbung padi milik kepala kampung nya terbakar, warga segera naik ke bukit untuk membantu memadamkan api. Mereka tidak sadar, bahwa dengan tindakan spontan tersebut, warga telah terselamatkan dengan sendirinya dari gelombang tsunami yang datang beberapa saat kemudian. Setelah tsunami, hamaguchi goryo membangun benteng sepanjang 600 meter di tepi pantai untuk menahan ancaman tsunami, yang dilakukan dengan tangannya sendiri.
Kearifan yang diciptakan oleh hamaguchi goryeo ini disebut dengan “inamura no hi” yang berarti “api dari tumpukan padi”.
Kearifan lokal inamura no hi berawal dari sebuah cerpen seorang guru, tsunezo nakai (1987-1994) untuk murid-murid nya yang kemudian dimuat dalam buku pelajaran bahasa jepang di sekolah dasar selama hampir 10 tahun.
Selain berasal dari cerpen tsunezo nakai, inamura no hi juga merupakan versi ringkas novel karangan laveado hearn (koizumi yakumo) berjudul “a living god” (1896) yang berbentuk viksi yang mengandung teladan tentang cara-cara mengurangi dan menyiapkan diri dalam situasi bencana, terutama gempa bumi dan tsunami yang menjadi langganan jepang selama ratusan tahun.
Buku ini juga telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, termasuk bahasa indonesia sebagai bahan pelajaran guna menyelamatkan diri dari ancaman gelombang tsunami dan cerita bergambar ini ada dimusium/kantor disaster reduction and human renovation institution (dr-hri), kobe-jepang.
Sumber
http://news.detik.com
Tsunami Tendenko Kearifan Menghadapi Tsunami di Jepang
Kearifan lokal ini muncul di daerah iwate bagian timur jepang. Awalnya pada tahun 1896 terjadi gempa bumi yang menewaskan banyak orang. Hal tersebut disebabkan masing-masing orang ingin menyelamatkan keluarga dan kerabat saudaranya bahkan tetangganya yang akhirnya ikut menjadi korban.
Sejak itu timbul sebuah kearifan yang disebut “tsunami tendenko”. Secara harfiah artinya: masing-masing untuk diri sendiri (each for oneself).
Motto ini bermakna; pada saat terjadi tsunami, larilah ketempat yang tinggi demi keselamatan sendiri, jangan memikirkan orang lain bahkan keluarga anda sendiri.
Tsunami-tendenko adalah ide tradisional dari wilayah sanriku, timur laut jepang (berhadapan dengan samudera pasific) dimana bencana tsunami sering terjadi. Ungkapan itu sendiri menjadi terkenal setelah fumio yamashita, seorang sejarawan bencana tsunami jepang menggambarkan pengalamannya sendiri dengan tsunami besar tahun 1933.
Ayahnya melarikan diri dari tsunami yang mendekat dan meninggalkan familinya termasuk yamashita yang saat itu berusia 9 tahun. Dikritik oleh isterinya, ayah yamashita menjawab; “ini tendenko, seperti mereka katakan”. Dia sebelumnya kehilangan ibu nya (nenek yamashita) dalam tsunami besar tahun 1896 karena menghabiskan waktu mencoba menyelamatkan putrinya yang masih bayi.
Yamashita menceritakan kisah ini untuk menekankan pentingnya menghindari tomo-daore, dimana penyelamat kehilangan nyawanya bersama dengan korban.
Kearifan ini menimbulkan dua pendapat, pertama secara moral harus membantu orang lain yang membutuhkan, kedua untuk menghindari banyak korban harus selamatkan diri lebih dahulu tanpa harus membantu orang lain, tetapi secara psikologis sulit untuk dilaksanakan.
Sumber:
https://jme.bmj.com
https://jumanb.wordpress.com
Ketiga kearifan lokal tersebut (kearifan “smong”, inamura no hi dan tsunami tendenko) sangat berkaitan dengan tindakan pengurangan resiko bencana atau mitigasi bencana. Kearifan yang diciptakan hamaguchi goryo, muncul seketika ketika disadarinya akan muncul gelombang tsunami yang akan menenggelamkan daerahnya, sehingga dengan spontan timbul ide untuk membakar lumbung padinya yang terletak diperbukitan, sehingga ketika warganya berbondong-bondong kebukit untuk memadamkan api yang menghanguskan lumbung padinya, karena itu pula warganya luput dari ancaman bahaya tsunami ketika itu.
Sementara kearifan yang disebut tsunami tendenko, tentu timbul akibat seringnya negeri jepang dilanda bencana tsunami serta banyaknya korban tewas sebagai akibat langsung tsunami dan termasuk mereka yang tewas karena membantu menyelamatkan kelurga dan saudaranya sehingga ikut menjadi korban telah memunculkan sebentuk kesadaran kolektif, yaitu berupaya mengurangi korban bencana dengan menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu.
Berkenaan dengan kearifan “smong”, kendatipun tidak sesering penduduk di jepang menghadapi bencana tsunami, penduduk simeulue yang selamat pada prahara smong (tsunami) 1907 telah menjadikan pengalaman mereka dan leluhur nya yang selamat ketika itu agar berhati-hati dan waspada terhadap bahaya bencana smong tersebut.
Yaitu dengan merasa dan memperhatikan apakah gempanya kuat atau tidak, memperhatikan air laut surut seketika atau tidak, apakah ternah kerbau yang seharian berjemur dipantai tampak gelisah dan berlarian meninggalkan pantai. Kemudian pengalaman ini diceritakan kepada anak cucu mereka agar kelak dapat mencermati tanda-tanda alam seperti itu dan cepat mengungsi agar terhindar dari bencana serta selamat.
Inilah yang diwariskan kepada generasi simeulue selanjutnya secara turun temurun sehingga menjadi kearifan tersendiri yang sangat perlu dilestarikan dan diwariskan, apakah dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah sebagaimana hal nya yang dilakukan oleh tsunezo nakai di jepang, dalam bentuk buku untuk bacaan umumkah atau juga diabadikan ditempat tertentu, misalnya tugu, monumen dalam bentuk deskripsi ataupun juga diorama seputar peristiwa smong (tsunami) yang telah terjadi.
Dengan adanya perbandingan ketiga kearifan lokal ini, diharapkan kita sebagai penduduk bumi akan lebih aware lagi tentang alam dan lingkungan kita. Oleh karena itu pula leluhur generasi simeulue mewariskan pesan mereka tentang alam, seperti petuah atau pantun sebagai berikut.
“Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandi mu), Linon uwak-uwak mo (gempa ayun-ayunan mu), E’laik kedang-kedang mo (petir gendang-gendang mu), Kilek suluh-suluh mo (kilat suluh-suluh mu)”.
Makna dari petuah tersebut adalah bahwa kita hidup dialam semesta ini harus bersahabat dengan alam, menjaga dan memelihara kelestariannya. Oleh karena itu kita tidak boleh takut dengan fenomena-fenomena alam yang terjadi, seperti adanya bencana smong, gempa, adanya petir dan kilat, tetapi harus waspada dan mengetahui tanda-tanda alam yang terjadi sebelum munculnya suatu bencana (dalam hal ini bencana smong). (**)
Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya Tradisional Simeulue
Discussion about this post