MEDAN, Waspada.co.id – Menyikapi pertumbuhan pasar modal syariah yang berjalan pelan, Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin menerangkan berdasarkan data OJK di tahun 2022 ini, indeks literasi keuangan syariah berada di angka 9.14%,
“Sementara inklusi keuangan syariah berada di level 12.12%. Masih kalah jauh dibandingkan dengan literasi keuangan pada umumnya, di mana masyarakat masyarakat kita itu ada di posisi 49,68% dan inklusinya 85.10%,” terangnya, Selasa (6/12).
Artinya, Gunawan, jika berkaca pada besaran angka literasi dan inklussi keuangan syariah, ini angaknya masih sangat rendah. Dari 100 masyarakat Indonesia, hanya sekitar 9 orang yang memahami dengan benar produk keuangan syariah, namun ada sekitar 12 orang yang sudah menggunakan jasa layanan produk keuangan syariah.
Inklusi dan literasi tersebut tentunya bisa menjadi gambaran bagaimana karakter investor yang menggunakan jasa keuangan syariah. Dari pengalaman saya pribadi, investor muslim yang menggunkan jasa keuangan syariah kerap masih kesulitan untuk membedakan secara spesifik perbedaan pasar keuangan syariah ataupun yang konvensional.
“Kalau melakukan transaksi pada efek syariah, atau menggunakan akun khusus yang bernama sharia online trading system (SOTS), memang hal tersebut akan mempermudah melakukan transaksi secara syariah. Tetapi bukan lantas dengan alat tersebut literasi keuangan syariah pengguna akan meningkat. Di sisi lain saat literasinya rendah, maka dedikasi untuk mengembangkan pasar modal syariah menjadi tidak maksimal, dan investor masih kerap terjebak dalam produk keuangan lain seperti transaksi indeks ataupun mata uang yang tidak memiliki pertukaran barang, uang kripto, skema ponzi hingga penipuan lain dengan menjual fatwa atau agama,” katanya.
Beberapa contoh kasus yang ditemui itu begini, investor (transaksi mata uang/forex) kesulitan untuk mengidentifikasi suatu produk investasi apakah syariah atau tidak.
“Lantas literatur yang digunakan adalah ceramah dari seorang alim ulama yang menjawab pertanyaan serupa lewat kanal youtube dengan jawaban seperti ini, selama tidak terdapat unsur Riba, Gharar dan Maysir maka transaksi tersebut halal,” ungkapnya.
Ia menambahkan Jadi tidak ada justifikasi dari ulama saat itu, dan lagi lagi investor bingung apakah transaksi yang dilakukan nantinya masuk dalam kategori syariah atau tidak. Dan memang pada dasarnya transaksi mata uang itu ada yang memiliki fatwa dan ada yang tidak.
“Namun fatwa itu sendiri kerap disalah tafsirkan, ada juga yang mengklaim memahami transaksi syariah, namun justru lebih banyak bertransaksi dengan efek margin yang jelas jelas menggunakan bunga atau riba,” tambahnya.
“Dan masih ada beberapa contoh kasus lainnya. Jadi literasi keuangan ini perlu diperbaiki. Kalau literasinya sangat baik, maka transaksi menggunakan SOTS pada dasarnya tidak dibutuhkan, karena investor tahu mana yang hak dan mana yang batil. Kalau hitungan kapitalisasi pasar saham syariah itu nilainya 4000-an trilyun, tentunya hitungan tersebut belum bisa mewakili transaksi investor syariahnya. Karena hitungan itu masih berdasarkan objek (saham) syariahnya,” tandasnya. (wol/eko/d1)
Discussion about this post