Catatan: M. Syahrir
ANDAI Johannes Gutenberg tak kreatif merangkai huruf demi huruf dengan metode pengecoran dalam balok logam mini dari timah yang membingkai kata demi kata dibubuhi tinta dan selanjutnya ditekankan di selembar kertas yang menghasilkan rangkaian tulisan, peristiwa asal muasal koran tak akan pernah terceritakan. Di kota Mainz, Jerman tahun 1440-an inilah dijadikan momentum kelahiran mesin cetak koran pertama kali di dunia, walaupun Negeri Tirai Bambu (Tiongkok) tahun 700-an sudah menemukan model koran dalam bentuk cetakan yang dibuat dari balok kayu yang dipahat dengan aksara China dan menggunakan cairan getah atau buah sebagai bahan baku tintanya.
Di Indonesia, koran pertama terbit bernama Bataviasche Nouvelles tahun 1745 berbahasa Belanda, namun hanya terbit dua tahun saja. Selanjutnya, tahun 1828 terbit koran kedua di Jakarta dengan nama Javasche Courant yang memuat berita-berita resmi pemerintahan kala itu. Peristiwa demi peristiwa berlanjut terus hingga sekarang ini, mulai era penjajahan Belanda dan Jepang, era Orde Lama dan Orde Baru hingga era reformasi. Sepanjang usianya koran masih ditempatkan sebagai referensi bagi masyarakat untuk mengetahui peristiwa demi peristiwa yang terjadi di negeri ini.
Dan, beberapa tahun ini koran pun mendapat tantangan baru dengan hadirnya teknologi digitalisasi. Industri media cetak dunia mulai dapat lawan bisnis baru, satu persatu bertumbangan bahkan hampir mati suri. Tahun 2000, survei Nielsen sudah memprediksinya eksistensi koran hanya bisa bertahan 20 tahun ke depan. Masyarakat diperkirakan hanya akan menggunakan perangkat gadget sebagai sarana informasi. Membaca informasi dengan menggunakan sarana kertas dinilai kurang efektif.
Fakta atas peristiwa itupun terbukti. Saat Serikat Perusahaan Pers (SPS) Sumatera Utara menggelar kampanye baca koran bersama ribuan pelajar SMP di Serdang Bedagai dan Langkat pada 14-15 September lalu, antusias para pelajar yang menghadiri kegiatan tidak berimbas positif terhadap pengetahuan mereka tentang koran atau surat kabar. Para pelajar tampak senang berinteraksi dengan para pengelola media, namun sayangnya mereka seakan beranggapan mendapat informasi yang baru terkait koran.
“Koran jadi barang baru bagi mereka. Ini yang membuat kita miris, padahal sejarah panjang bangsa ini telah membuktikan koran punya andil besar dalam proses demokrasi di negeri ini, termasuk mencerdaskan para generasi muda,” kata Ketua SPS Sumut, H Farianda Putra Sinik SE.
Dalam konteks inilah, Farianda menekankan eksistensi koran tidak hanya sekadar penghias sejarah, tapi dilibatkan dalam mengisi kemampuan intelektual pelajar. Peran guru untuk mengenalkan sekaligus menjadikan koran sebagai salah satu bacaan alternatif maupun bagian aktivitas proses belajar mengajar akan berimplikasi positif terhadap masa depan koran.
“Newspaper never die. Itu sudah komitmen kami, walau di situasi sulit bagi para pengelola media koran dalam menjalankan bisnisnya. Kami yakin itu dan starting point-nya kami mulai dari pelajar di Sumut,” tegasnya.
Discussion about this post