Oleh: Jamaluddin Nasution
Waspada.co.id – Fenomena bahasa gaul Jaksel (Jakarta Selatan), campur kode bahasa anak gaul. Kata-kata bahasa Inggris disisipkan dalam percakapan sehari-hari menggantikan kosakata bahasa Indonesia, apakah ini mengancam orisinalitas bahasa Indonesia?
“Noted Pak!” ujar seseorang pegawai kantoran saat pimpinannya menyampaikan informasi, dan pegawai kantoran tersebut bukan mengatakan “Baiklah, Saya mengerti Pak”. Noted artinya dalam bahasa Indonesia adalah ‘dicatat, dimengerti’ yang mungkin dapat mewakili frasa ‘hal yang dimengerti dan dicatat’. Lebih parah lagi saat seorang anak muda ingin meyakinkan pacarnya dengan mengatakan, “Jujurly, aku sangat mencintaimu”. Kata ‘jujur’ adalah kata sifat (adjektiva) dalam bahasa Indonesia dan ‘-ly’ adalah akhiran (sufiks) dalam bahasa Inggris yang memiliki makna ‘dengan’. Biasanya kata sifat dalam bahasa Inggris seperti quick yang artinya ‘cepat’ akan dibentuk menjadi kata keterangan (adverbia) di bahasa Inggris seperti quickly yang artinya ‘dengan cepat’.
Fenomena bahasa Indonesia yang dicampur di atas sudah menjadi hal yang biasa dan telah menjadi pokok bahasan para linguis di berbagai literatur dan artikel penelitian dalam kajian sosiolinguistik. Pencampuran suatu bahasa dengan bahasa lain seperti bahasa asing disebut dengan campur kode (dalam bahasa Inggris code mixing).
Campur kode menurut adalah suatu keadaan berbahasa lain bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Campur kode juga diartikan sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa.
Pada umumnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki 3 bahasa (triglot), atau setidaknya menguasai 2 bahasa (bilingual). Banyak masyarakat Indonesia yang berbahasa ibu (bahasa daerah), kemudian menguasai bahasa Indonesia saat bersekolah/kerja, dan kemungkinan akan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris.
Karena banyak masyarakat yang menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Batak, Aceh, Melayu, Madura, Minang, Dayak, dan lain-lain serta bahasa Indonesia, maka seringkali masyarakat berbicara dengan berganti-ganti bahasa tersebut. Hal seperti ini disebut dengan ‘alih kode’ atau dalam bahasa Inggris disebut code-switching. Alih kode/code-switching ini adalah peristiwa peralihan kode yang satu ke kode yang lain. Maksudnya, seorang yang berbicara mula-mula menggunakan bahasa Indonesia (sebut kode A), kemudian dia beralih berbahasa Jawa (sebut kode B), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa inilah yang dimaksud code-switching atau alih kode yang berganti-ganti pada bahasa A ke B atau sebaliknya.
Campur Kode (Code Mixing)
Bahasan utama tulisan ini adalah campur kode (code mixing). Campur kode ini termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence), dan campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Campur kode ke dalam (innercode-mixing) yakni campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya; dan 2) Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu; 1) sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur; dan 2) kebahasaan (linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode; 1) penyisipan kata; 2) menyisipan frasa; 3) penyisipan klausa; 4) penyisipan ungkapan atau idiom; dan 5) penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
Kembali ke awal bahasan, maka sangat wajarlah masyarakat Indonesia berpindah-pindah bahasa saat melakukan komunikasi bahkan di waktu yang bersamaan. Terlebih kaum milenial atau anak muda yang terpengaruh dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris. Mereka merasa “keren” menyelipkan kosakata asing dalam percakapan. Dan ini semua tidak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi internet, media sosial seperti Instagram, Twitter, TikTok, Facebook dimana orang-orang seluruh dunia bisa saling berhubungan/berkomunikasi.
Kata-kata bahasa Inggris seperti: literally, basically, guys, which is, dll adalah istilah-istilah Jakarta Selatan (Jaksel) termasuk bahasa kebanggaan selain bahasa daerah yang melekat pada warga dan anak tongkrongan Jaksel, khususnya para gen Z, anak millenial dan ABG Jaksel. Tren anak Jaksel mulai hits pada tahun 2018, dan mulai menjadi terkenal lagi pasca film Layangan Putus tahun 2021. Dalam adegan film Layangan Putus tersebut, film yang sempat hits dan viral, ada adegan dialog dengan kalimat ‘It’s my dream, not her, my dream Mas!’. Dialog ini menggunakan bahasa Indonesia, diselingi bahasa Inggris, dan bahkan menyisipkan tuturan bahasa Jawa ‘Mas’. Artinya telah terjadi gabungan 3 bahasa dan budaya dalam dialog ini.
Bahasa gaul Jaksel memang terkenal dengan cara mencampur bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Oza Rangkuti seorang Komika yang sering mengangkat isu terkait bahasa Jaksel ini. Oza Rangkuti kerap kali mengunggah video pendeknya di dalam akun TikTok @podcastkeselaje yang menayangkan bagaimana tata bahasa anak Jaksel dalam kalimat di percakapan sehari-hari. Kata-kata yang sering digunakan tersebut adalah seperti penjelasan berikut ini beserta arti/maknanya.
Bahasa Inggris di percakapan bahasa Indonesia
Kata ‘anhedonia’ adalah keadaan dimana seseorang tidak bisa lagi merasakan kebahagian ketika melakukan kegiatan yang disukainya namun jika ada sesuatu yang memberikan aura negatif terhadap diri kita disebut ’negative vibes’. Seseorang yang mengalami hal ini, hidupnya menjadi sangat membosankan dan tertekan. Jika merujuk pada keadaan saat seseorang merasa cemas dengan sesuatu yang bakal menimpanya disebut dengan ‘anxiety’. Seseorang yang masih bersifat kekanak-kanakan disebut ‘inner child’ dan yang merasa cemas akan segala hal disebut ‘insecure’.
Apabila seseorang menghina fisik orang lain, maka penghinaan ini disebut dengan ‘body shaming’. Tapi bagi yang suka berkata kasar yang menyebabkan mental seseorang turun disebut dengan ‘verbally abuse’. Kata ‘flexing’ digunakan untuk menyebut sikap riya/suka pamer.
Dalam hal percakapan dua orang atau lebih yang membahas sesuatu sampai hal-hal yang sensitif secara mendalam disebut dengan ‘deep talk’. Lain kata dengan ‘healing’, arti sebenarnya adalah proses penyembuhan dari luka atau perasaan sedih, tapi diartikan berlibur atau jalan-jalan ke tempat indah. Dan apabila mereka (anak Jaksel) ini sedang sibuk diganti dengan kata ‘hectic’, dimana kata ini mirip seperti ‘overwork’ yaitu kebanyakan kerja dan ‘overthinking’ artinya banyak pikiran. Oleh karena itu jika tidak ingin diganggu orang lain, ingin sendiri saja mereka menyebut ‘personal space’ dan ‘me time’ untuk menikmati waktu seorang diri. Bahkan ada yang sampai ingin menginap di hotel atau tempat penginapan yang tidak jauh dari rumah yang disebut dengan ‘staycation’.
Dalam hal bersosial atau berhubungan dengan orang lain, ada beberapa kata yang digunakan seperti ‘healthy relationship’ yakni hubungan asmara yang sehat, jauh dari masalah. Untuk menyebut ‘best friend’ atau sahabat, temen baik/akrab anak Jaksel menyebutnya ‘bestie’. Ini kata yang sering didengar dalam bahasa sehari-hari. Kata ‘sleepy call’ adalah menghabiskan kuota untuk berteleponan, bicara dengan telepon sampai ketiduran. Singkatan juga ada yang digunakan seperti FWB yakni singkatan dari ‘Friend with Benefit’ artinya berteman namun seperti berpacaran dan TBL untuk singkatan dari Takut Banget Loh. Dan unsur bahasa Indonesia yang diplesetkan dengan imbuhan bahasa Inggris adalah ‘jujurly’ yakni plesetan dari ‘honestly’ yang artinya dengan jujur.
Masih banyak lagi istilah-istilah serta kata-kata bahasa Inggris yang dicampurkodekan dalam percakapan bahasa Indonesia oleh anak-anak gaul Jaksel. Apakah bahasa Indonesia sedang berada dalam ancaman bahasa asing sehingga orisinalitasnya bisa hilang? Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, penggunaan alih kode bahasa asing seperti bahasa Belanda pun sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Di sekolah, di perkantoran, bahasa Belanda adalah bahasa yang sering bercampur dengan bahasa Indonesia, kemudian di zaman Orde Baru mulai masuklah bahasa Inggris seiring banyaknya kerjasama Indonesia dengan negara asing seperti Amerika dan Eropa. Dengan demikian, adanya alih kode dan campur kode bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi sudah ada sejak zaman dahulu.
Dalam hal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 pada pasal 36. Kemudian juga dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Aturan lainnya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 30 September 2019 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional dalam seluruh jenjang pendidikan. Maka penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa asing seperti fenomena di atas adalah sesuatu yang wajar namun musti diwaspadai.
Kewajaran disini artinya bahwa penggunaan bahasa adalah sesuatu yang bersifat bebas karena masyarakat pengguna bahasa berasal dari berbagai latar belakang bahasa dan budaya. Di sisi lain, campur kode harus diwaspadai dalam menjaga orisinalitas bahasa Indonesia itu sendiri. Misalnya, kata ‘jujurly’ yang menggabungkan bahasa Indonesia dengan sufiks bahasa Inggris, dikhawatirkan merembet ke kata-kata lain karena adanya kepraktisan dan keunikan dalam penggabungannya.
Pengaruh bahasa asing memang tidak dapat dihindarkan dalam hubungan langsung antarbangsa dan antarbahasa karena sebuah bahasa yang masih berkembang memerlukan tambahan kosakata agar menjadi bahasa yang mantap secara linguistik, sosial dan politik. Walaupun ada campur kode, pengaruh yang paling dapat diterima hanya pengaruh unsur makna atau konsep karena keduanya menyangkut kompleksitas budaya yang berbeda, sementara unsur bentuk atau struktur gramatika harus tetap dicarikan dalam bahasa penerima.
Saat ini, kita tidak dapat dipisahkan dengan globalisasi. Secara etimologis globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti bola dunia, sedangkan akhiran sasi mengandung makna sebuah “proses” atau keadaan yang sedang berjalan atau terjadi saat ini. Jadi secara etimologis, globalisasi mengandung pengertian sebuah proses mendunia yang tengah terjadi saat ini menyangkut berbagai bidang dan aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara-negara di dunia. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat harus terlibat dalam fenomena bahasa yang dipengaruhi oleh globalisasi ini.
Apa Solusi Bersama?
Pemerintah harus terus berupaya menjaga orisinalitas bahasa Indonesia melalui aturan-aturan tentang penggunaan bahasa Indonesia, memadankan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia (kata serapan), dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti seminar, mengenalkan Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, dan mengenalkan Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) kepada para siswa/mahasiswa. Peran serta masyarakat juga harus terus ada untuk mempertahankan keaslian bahasa Indonesia itu sendiri.
Jika masyarakat tidak ikut mendukung pemerintah dalam menjaga orisinalitas bahasa Indonesia dari pengaruh bahasa asing, maka dikhawatirkan upaya negara Indonesia dalam menginternasionalisasikan bahasa Indonesia akan terhambat. Peluang bahasa Indonesia untuk dikembangkan menjadi bahasa Internasional paling tidak di Asia dan Asia Tenggara memang terbuka lebar. Bahasa Indonesia telah diajarkan di beberapa universitas-universitas di luar negeri, misalnya Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Cina, Jerman, dll. Dan ini disebut dengan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Jangan sampai prestasi besar pengajaran BIPA ini menjadi menurun karena bangsa lain melihat bahasa Indonesia disusupi oleh istilah-istilah bahasa Inggris yang membuatnya tidak lagi orisinal sebagai bahasa nasional.
Walaupun kata-kata bahasa asing terlihat ‘keren’ digunakan, namun sudah sepantasnya hal tersebut dihindari. Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Indonesia dalam hal ini sudah berperan aktif memadankan bahasa asing ke bahasa Indonesia, misalnya ‘download’ menjadi ‘unduh’, kata ‘upload’ menjadi ‘unggah’, ‘online’ menjadi ‘daring’, dan ‘offline’ menjadi ‘luring’, dan lain sebagainya.
Penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar wajib digunakan dalam ragam bahasa tulis dan lisan, seiring juga peran masyarakat dalam melestarikan bahasa daerah agar tidak punah. Dan sudah menjadi kewajiban masyarakat Indonesia juga untuk menguasai bahasa-bahasa asing (bahasa internasional) agar bangsa Indonesia dapat berperan aktif dalam kancah internasional yang akan memberikan manfaat pada kemajuan negara Indonesia sendiri. Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing adalah jargon yang tepat sebagai solusi permasalahan bahasa ini. *Penulis adalah Mahasiswa S-3, Program Doktoral Ilmu Linguistik, Universitas Sumatera Utara
Discussion about this post