MEDAN, Waspada.co.id – Masyarakat di Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Utara mempertanyakan penanaman bibit mangrove program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang jumlahnya ratusan ribu batang di lahan seluas puluhan hektar di tiga daerah tak sesuai harapan.
Mereka menilai, kegiatan tersebut diduga terindikasi korupsi karena faktanya bibit mangrove tersebut kini dalam kondisi tak terawat.
Salah satu daerah di Sumatera Utara yang mendapat kesempatan dalam program Rehabilitasi Restorasi Gambut dan Mangrove Di Kabupaten Labuhanbatu Utara terdiri dari tiga desa yaitu Desa Sei Apung, Desa Teluk Piai, dan Kelurahan Kampung Mesjid, Kecamatan Kualuh Hilir.
Berdasarkan pantauan langsung di lapangan, salah satu lokasi di Kampung Masjid, terlihat bibit-bibit mangrove yang sempat di tanam oleh Kelompok Tani Hutan pada Agustus 2021 lalu, kini kondisinya terlihat dalam kondisi porak poranda.
Tidak hanya itu, di lokasi lainnya seperti di Desa Sei Apung dan Desa Teluk Piai kondisi bahkan lebih parah dan nyaris tak terlihat adanya bibit-bibit mangrove yang tumbuh di pinggir laut, alias lepas dari pengawasan dan perhatian baik dari instansi pihak kementerian maupun kelompok tani yang bertanggung jawab.
Padahal, Kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM) Tahun 2020 yang merupakan agenda pemerintah menggunakan APBN ini adalah untuk Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) dalam rangka pemulihan ekonomi masyarakat ditengah badai Pandemi Covid 19.
Ironisnya, bukannya serius melakukan penanaman seusai aturan dan ketentuan serta anggaran yang sudah ditetapkan, warga berinisial F.H menyebutkan kegiatan penanaman tersebut diduga terindikasi korupsi dalam pengerjaanya.
Ia menyebutkan, kegiatan penanaman bibit mangrove tersebut terkesan semrawut. Bahkan diketahui tidak sesuai dengan jumlah bibit dan luas lahan yang ditentukan.
Hal senada juga disampaikan warga lainnya berinisial AR yang menyebutkan, sangat jelas lahan yang seharusnya di tanami mangrove sekitar 130rb batang bibit untuk 30 hektar diduga tidak sepenuhnya dikerjakan dengan berbagai alasan. Padahal anggaran digelorakan cukup besar yakni sekitar 400 juta lebih khususnya di Kelurahan Kampung Masjid.
“Bahkan, bisa dipastikan usai penanaman, hingga kini kelompok tani hutan yang seharusnya bertanggung jawab penuh agar mangrove dapat tumbuh kembang dengan baik satupun tidak pernah terlihat batang hidungnya melihat ke lokasi. Padahal yang kita ketahui tujuan tanaman mangrove itu untuk mencegah abrasi, meningkatkan hasil laut dan ekowisata bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya, Selasa (10/5).
Tak hanya itu, AR juga menambahkan banyak anggota kelompok tani yang menerima gaji setiap bulannya namun tidak pernah ikut bekerja dan turun kelapangan.
“Banyak juga itu yang menerima gaji setiap bulannya masuk ke rekening masing-masing anggota, tapi tak pernah ikut kerja dan turun kelapangan saat proses penanaman berlangsung,” tambahnya.
Sementara itu, saat dikonfirmasi Waspada Online, Rahmad Ganti Sitorus selaku petugas KPH Wilayah lll Kisaran belum dapat memberikan tanggapan sampai berita ini diturunkan.(wol/ryan/d1)
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post