MEDAN, Waspada.co.id – Jauh dari ekspektasi sebelumnya, inflasi Januari di Sumut melompat hingga mencapai 1.03 persen melebihi rata-rata nasional, sekaligus mengawali tahun baru 2022 ini dengan realisasi buruk.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin memandang di mana tekanan inflasi yang terlihat seperti kurang terkendali. Dari beberapa kenaikan biaya hidup masyarakat, di antaranya kenaikan tersebut dikarenakan penyesuaian harga yang diatur pemerintah.
“Rokok kretek filter, harga bahan bakar rumah tangga, listrik dan air ini harga yang dikendalikan lewat kebijakan yang diambil. Sementara itu, kenaikan harga biaya hidup untuk kelompok rekreasi, atau pemeliharan rumah rutin hingga perawatan pribadi. Ini menjadi indikasi kemungkinan adanya pemulihan daya beli,” tuturnya, Sabtu (4/2).
Selain itu, bisa juga dipicu oleh pelonggaran PPKM, atau masa liburan Nataru yang tidak dibarengi dengan pembatasan aktifitas masyarakat secara ketat. Sementara kenaikan harga pangan masyarakat seperti telur dan daging ayam, ikan segar, tomat, minyak goreng memiliki peluang turun di bulan ini.
“Telur ayam dan daging ayam harganya saat ini turun dikisaran 24 ribu dan 32 ribu per kg sejauh ini, dibandingkan januari yang sempat naik 27 ribu dan 42 ribu per Kg nya. Sementara ikan segar juga turun lebi dari 35 persen belakangan ini. Untuk cabai rawit juga rata-rata lebih murah, sementara cabai merah trennya sedikit mengalami kenaikan di harga 23 ribuan per Kg. Jadi pada dasarnya di februari ini terlihat ada potensi Sumut deflasi,” ungkapnya.
Sementara itu, harga minyak goreng yang dinanti-nanti turun sesuai dengan arahan pemerintah. Sayangnya sampai saat ini harganya masih terbilang mahal. Memang ada harga minyak goreng murah di sejumlah ritel modern.
Hanya saja justru stoknya terbatas, tidak mampu memenuhi kebutuhan semua pembeli. Masyarakat masih berebut untuk membeli minyak goreng.
Ia menambahkan Implementasi kebijakan harga sesuai dengan arahan belum terlaksana sepenuhnya di lapangan. Dipasar tradisional, dan banyak pedagang lainnya.
Mereka kuatir menjual minyak goreng karena takut akan dirugikan. Karena sangat jelas sekali bentuk pemberitahuan sekaligus arahan dari pemerintah terkait harga minyak goreng tersebut, mulai dari 11.500 hingga 14 ribu per liternya.
“Padahal harga minyak goreng yang berlaku sesuai mekanisme pasar itu masih 18 hingga 20 ribu per liternya. Jadi pedagang tidak berani menjual minyak goreng. Ini bisa memicu terjadinya kelangkaan minyak goreng itu sendiri. Kalau saya menilai kebijakan menteri perdagangan itu baik bagi konsumen. Tetapi tahapan implementasi yang seperti sekarang ini justru membuat masyarakat bingung,” tambahnya.
Pedagang mengeluh karena mereka juga dirugikan karena konsumen mencari minyak goreng seperti arahan pemerintah. Saya menilai kisruh ini imbas dari implementasi kebijakan yang belum merata dirasakan masyarakat. Kalau kebijakan ini mau tetap dilanjutkan, maka subsidi ini harus matang di level produsen minyak goreng.
“Bukan di level distributor, pedagang besar atau di ritel modernnya. Karena akan tetap muncul harga minyak goreng dengan varian harga yang berbeda. Dan bisa memicu spekulan. Kebijakan DMO/DPO pemerintah ini sebenarnya bisa membuat harga minyak goreng seragam di level produsen. Tapi yang namanya resitensi dari pengusaha atau petani sawit akan bermunculan,” terangnya.
“Kalau kebijakan subsidi ini tetap dilanjutkan, harapannya adalah agar segera harga minyak goreng ini sesuai dengan arahan pemerintah. Kalau kebijakan ini dibatalkan, ini terkait dengan marwah si pembuat kebijakan. Jadi bola panasnya ada di pemerintah saat ini, sunggu ini kado yang buruk Sumut di awal tahun,” tandasnya. (wol/eko/d1)
Discussion about this post