MEDAN, Waspada.co.id – Beberapa waktu lalu, Kementerian Perdagangan melakukan pendistribusian minyak goreng satu harga setara Rp14.000 per liternya.
Namun pada nyatanya belum berlaku di pasar tradisional. Padahal jika mengacu kepada surat edaran tersebut, pasar tradisional memiliki waktu 1 minggu untuk ikut menyesuaikan.
Sejauh ini, harga masih sama yakni berkisar Rp18.000 hingga Rp20.000 per liternya.
Melihat hal ini, Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin menjelaskan ritel modern yang ditunjuk sebagai agen penjual mengacu kepada edaran sebelumnya juga tidak merata. Tidak merata dalam konteks ini adalah masyarakat masih kesulitan untuk membeli minyak goreng di pasar ritel modern.
Pasar ritel modern yang berdekatan langsung dengan masyarakat untuk semua lapisan ekonomi, seperti Indomaret atau Alfamart, juga tidak mampu konsisten dalam menyediakan stok minyak goreng sesuai dengan kebutuhan.
“Masih kerap ditemukan kekosongan barang minyak goreng di alfamart maupun indomaret. Dan akses ke pasar ritel modern lainnya khususnya yang terletak di dalam pusat perbelanjaan seperti mall jelas tidak akan mudah diakses oleh semua masyarakat. Justru masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas yang lebih berpeluang untuk membeli minyak goreng,” terangnya, Rabu (26/1).
Alhasil kebijakan ini menurut Gunawan justru memunculkan dugaan-dugaan yang justru menggiring persepsi bahwa minyak goreng subsidi dinikmati masyarakat ekonomi menengah atas. Memang akan jauh lebih mudah mengendalikan atau mendistribusikan minyak goreng subsidi lewat peritel modern. Mereka punya sistem, mengecek stok gampang dan tersedia lewat sistem, satu komando, dan mudah untuk membayar selisih harga (subsidi).
“Berbeda dengan pasar tradisional. Pasar tradisional sangat bergantung dari distributor atau pedagang besar yang menjual minyak goreng ke pedagang pengecer. Jadi harga minyak goreng di pasar tradisional seharusnya sudah baku 14 ribu per liter dari distributor atau pedagang besarnya,” ungkapnya,
Masalah muncul lagi, bagaimana dengan pedagang di pasar tradisional yang sudah membeli minyak goreng dengan harga saat ini (18 hingga 20 ribu). Siapa yang akan mengganti kerugian seandainya diterapkan harga baru?
“Jadi kalau seandainya penjualan minyak goreng dijual terbatas di ritel modern. Pedagang kedai sampah akan sulit mendapatkan dan menjual minyak goreng. Jadi akan banyk muncul persepsi di tengah masyarakat kalau penjualan minyak goreng harga baru masih seperti saat ini. Kalau mau merata maka pembayaran selisih harga atau subsidi dilakukan di semua produsen minyak goreng di tanah air. Khususnya minyak goreng yang di pasarkan untuk kebutuhan dalam negeri,” katanya.
“Karena kalau tidak, akan ada produsen minyak goreng lain yang dirugikan. Nah, kalau opsinya hanya peritel modern yang mendapatkan jatah pemasaran minyak goreng 14 ribu. Maka mau tidak mau peritel modern yang dekat dengan masyarakat yang harus diprioritaskan. Atau distribusi minyak goreng dilakukan dengan operasi pasar, dimana kelurahan menjadi agen penjual karena mereka punya data base masyarakat miskin,” ujarnya.
“Dan memasarkan minyak goreng bersubsidi ini tidak akan semudah memasarkan BBM bersubsidi, karena minyak goreng ini ada banyak pelaku pemasarannya,” pungkasnya. (wol/eko/d2)
Discussion about this post