MEDAN, Waspada.co.id – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara (Sumut), menyoroti cara Pemerintah Kota (Pemko) Medan dan Provinsi Sumut dalam pengendalian banjir rob yang kerap terjadi di Kecamatan Belawan.
Pasalnya, sampai saat ini, pemerintah belum memberikan solusi untuk mengatasi keluhan masyarakat Belawan. Belum lagi persoalan pengalihan kawasan hutan mangrove menjadi pertambakan dan perkebunan sawit.
Manager kajian dan Advokasi Walhi Sumut, Putra Saptian, menyampaikan sangat penting melakukan evaluasi dan audit lingkungan yang menyeluruh terhadap alih fungsi kawasan hutan mangrove di Belawan.
Menurutnya, pemerintah harus mengkaji titik-titik banjir secara terintegrasi dan komprehensif dari hulu hingga hilir. Dikatakan, upaya mitigasi dan adaptasi sangat perlu dilakukan oleh Pemko dan Pemprovsu.
“Fenomena banjir rob yang terjadi bukanlah pertama kali, ini sudah terjadi berkali-kali. Namun sampai saat ini masih tidak ada keseriusan pemerintah dalam melakukan upaya perlindungan kawasan hutan mangrove,” kata Putra kepada Waspada Online, Sabtu (23/10).
Padahal, hutan mangrove diketahui sangat memiliki fungsi esensial dalam meminimalisir dampak yang lebih besar akibat banjir yang terjadi. Ditambah lagi, alih fungsi hutan mangrove menjadi berbagai persoalan pelik, mulai dari persoalan ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya.

“Bahkan tak sedikit menjadi pemicu konflik tenurial di kawasan pesisir. Nelayan kecil dan tradisional banyak menggantungkan hidup di sana, mereka hidup dan berkehidupan di pinggir laut, sama dengan nasibnya dengan masyarakat yang terpinggirkan,” ujarnya.
Selain itu, Putra menyampaikan, bahwa fenomena banjir rob ini tidak dapat dipisahkan dari adanya aktivitas industri yang destruktif seperti reklamasi. Biasanya, kata Putra, hal itu dilatarbelakangi oleh semakin masifnya tingkat industri yang dilakukan oleh perusahaan.
“Aktor perusak hutan tidak mempertimbangkan penyelamatan potensi laut yang berkelanjutan, untuk kepentingan industri maritim, hingga tidak ada kesempatan untuk berproduksi,” ungkapnya.
“Atas nama modal, teorganisasi ruang dilakukan, yang kemudian berekspansi dengan cara melenyapkan ekosistem lama untuk membuat lanskap baru. Ini disebut creative destruction, hak guna ekosistem pesisir yang kompleks dilenyapkan oleh modal dan investasi,” sambungnya.
Dengan demikian, Walhi Sumut mendorong pemerintah melakukan pengelolaan wilayah pesisir ataupun pulau-pulau kecil dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi.
“Pembangunan diharapkan adanya keselarasan hubungan antara manusia dan manusia, dengan lingkungan dan komponen lainnya. Serta dapat memenuhi masa kini dan menjaga kelestarian untuk masa mendatang,” pungkasnya.(wol/man/d2)
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post