MEDAN, Waspada.co.id – Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Wilayah Sumatera Utara mencatat kenaikan harga CPO yang sudah berlangsung sejak setahun terakhir dan saat ini menyentuh level RM4.445 per ton dan diyakini menjadi rekor tertinggi selama 25 tahun terakhir.
Kondisi yang menguntungkan ini dipercaya memberi sumbangsih yang cukup besar terhadap perrtumbuhan ekonomi Sumatera Utara (Sumut) di triwulan III tahun 2021.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumut, Soekowardojo menuturkan walau tidak menghitung secara komoditas, tetapi kita hitung dari ekspor yang meningkat cukup tinggi, hampir 30 persen.
“Komposisi ekspor kita itu utamanya bahan makan dan minuman, dan disitu ada CPO,” tuturnya kegiatan Bincang Bareng Media (BBM) yang digelar secara daring, Rabu (29/9).
Senada dengan Deputi Kepala BI Provinsi Sumut, Ibrahim kenaikan harga CPO ini memang belum sepenuhnya mendorong pertumbuhan ekonomi di Sumut. Karena konstelasi ekonomi domestiknya itu memang belum mendukung, seperti ruang gerak masyarakat yang dibatasi. Sehingga keuntungan dari harga CPO yang diperoleh saat ini ditabung. Dan ini tergambar dari Dana Pihak Ketiga yang tersimpan di perbankan.
“Sehingga kami berharap, ketika ruang gerak semakin terbuka, mereka memanfaatkan uang tabungannya. Di saat itu lah kemudian ekonomi bekerja secara lebih cepat,” kata Ibrahim.
Ia menambahkan naiknya harga ini didorong meningkatknya permintaan CPO termasuk produk turunannya utamanya dari China dan India.
“Bahkan India sampai menurunkan pajak impor untuk CPO, sehingga mendorong permintaan tinggi. Dan pemain utama untuk komoditi ini kan Indonesia dan Malaysia,” tambahnya.
Tingginya harga CPO ini menurut Ibrahim tentunya memunculkan pertanyaan apakah akan konsisten bertahan mahal atau akan kembali turun. Untuk itu, ia meminta agar hati-hati sehingga harga yang tinggi ini tidak menjadi tertinggi hingga ke depan.
“Karena itu, kami mendorong agar hilirisasi terus dikembangkan, termasuk memanfaatkan program Peremajaan Sawit Rakyat,” ucapnya.
“Dan jika petani terutama yang lahanya tidak terlalu luas enggan melakukan peremajaan di saat harga mahal karena tidak ingin kehilangan momen. Padahal, di saat sekarang ini, ketika penghasilannya tinggi, mereka bisa menabung untuk kemudian melakukan peremajaan. Sehingga dalam 5 tahun ke depan, produksi sawit akan kembali membaik dan bagus,” tandasnya. (wol/eko/d2)
Discussion about this post