Oleh : Anggia Ramadhan SE, M.Si
Waspada.co.id – Lahirnya era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 tidak terlepas dari sebuah peristiwa politik dan hukum yang telah mengubah sistem ketatanegaraan di Idonesia. Salah satunya adalah membuka ruang munculnya Lembaga negara bantu ( auxiliary agent) atau yang di sebut komisi negara. Pada masa itu, komisi negara hadir bagai cendawan di musim hujan. Kemunculan komisi negara dilatarbelakangin abainya pemerintah untuk memenuhi kepentingan rakyat. Alasan ini pula yang memunculkan komisi negara di bidang penyiaran. Penyiaran yang pada masa orde baru berada di bawah pengendalian pemerintah berdasarkan undang undang 24 Tahun 1997 tentang penyiaran, pasca reformasi kendali itu bergeser ke komisi negara yang Bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berdasarkan undang undang nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Pengawasan isi penyiaran radio dan televisi menjadi utama wewenang KPI. ( Hidayat : 2018)
Komisi Penyiaran Indonesia merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI terdiri atas lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPIP) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi Penyiaran Indonesia meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Komisi Penyiaran Indonesia merupakan penjabaran teknis Pedoman Perilaku Penyiaran yang berisi tentang batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh ditayangkan pada suatu program siaran.
Selain itu, apabila ditelaah secara mendalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama. Pertama, pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua, adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Dengan kata lain, UU Penyiaran memiliki semangat penguatan kearifan lokal. Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Televisi lokal memiliki peran dalam membangun perekonomian daerah, serta dapat mengangkat budaya lokal dalam konten siaran. Di samping itu, televisi lokal juga ikut dalam melestarikan budaya lokal, dan eksplorasi potensi daerah dengan mengekspos kepada khalayak. Karena itu, konten lokal berbasis kearifan lokal setempat menjadi hal yang penting bagi televisi lokal.
Tantangan Penyiaran Di Era Teknologi
Teknologi informasi dan komunikasi dan industri media saat ini telah mengubah perilaku dan peradaban manusia secara global, perkembangannya telah menyebabkan dunia seakan tanpa batas yang kemudian menyebabkan pula perubahan sosial dari manusianya. Informasi yang bersumber dari satu komunikator melalui media yang kini ada, tak terbendung penyebarannya, siapapun bisa mengakses informasi tersebut. Saat ini, teknologi informasi dan komunikasi telah mengarah pada konvergensi yang memudahkan kegiatan manusia dalam rangka menjadi pencipta, pengembang dan pengguna dari teknologi.
Dalam perkembangan teknologi dan informasi Internet merupakan akses informasi dan teknologi yang perkembangannya cukup pesat. Menurut laporan terbaru yang dirilis oleh layanan manajeman konten Hootsuite penggunan internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5% atau 27 juta jiwa jika di bandingkan pada januari tahun 2020 lalu. Dan survei menunjukkan Sebagian waktu mereka gunakan di internet untuk mengakses sosial media seperti youtube, facebook, Instagram, whatsaap, dan twitter.
Perubahan inovasi teknologi komunikasi sangat bervariasi dan berlangsung dalam waktu yang cepat. Inovasi ini juga merupakan salah satu faktor kuat yang mendorong perubahan teknologi penyiaran dari analog ke digital. Apabila sebelumnya pesawat penerima siaran hanya melalui TV yang ada di rumah, sekarang dengan ditemukannya smartphone seseorang bisa dengan mudah mengakses saluran TV dimana saja dan kapan saja.
Perilaku menonton TV pun mulai berubah. Ratarata menonton TV di rumah hanya sekitar 2,5 jam. Selebihnya aktivitas yang berhubungan dengan media dilakukan melalui smartphone. Hasilnya adalah: Internet menjadi lautan informasi yang campur aduk. Pengguna Internet bisa memperoleh (hampir) segala macam informasi, jika ia mau. Tidak ada lagi pihak di luar dirinya yang bertindak sebagai gatekeeper.
Perubahan sistem penyiaran analog ke digital merupakan keniscayaan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam praktiknya perubahan tersebut tidak semudah yang dibayangkan, karena menyangkut kesiapan regulasi yang mampu mengantisipasi semua problem yang akan datang. Juga berkaitan dengan kepentingan penyelenggara penyiaran, perlindungan masyarakat, dan kesiapan infrastruktur (Redi Panuju:2015).
Problem yang paling besar yaitu soal payung hukum yang secara komperhensif mampu mewadahi semua problem yang muncul kemudian. Rancangan undang undang tersebut sudah lama diusulkan tapi hingga saat ini tak kunjung dibahas, apalagi disahkan. Selain payung hukum, pengawasan isi konten siaran akan berkembang juga karena hadirnya era baru TV digital diprediksi akan menambah jumlah penyelenggara siaran yang artinya jumlah program siaran akan ikut melonjak. Pada era disrupsi digital akan semakin banyak konten siaran yang kreatif dan berkualitas demi menggaet lebih banyak pemirsa. Maka KPI untuk meningkatkan pengawasan di era disrupsi digital ini dituntut untuk menyiapkan rencana strategis dengan mengkaji ulang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), pengembangan pengawasan siaran, dan penguatan kapasitas pemirsa melalui literasi media.
Discussion about this post