Waspada.co.id – Kelompok teroris ISIS di Afghanistan dilaporkan mulai merapatkan barisan saat pasukan koalisi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat berangsur-angsur mulai ditarik.
Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, seperti dikutip kantor berita Interfax dan dilansir Reuters, Jumat (2/7). Lavrov mengatakan kelompok ISIS Khurasan yang bercokol di wilayah utara Afghanistan secara bertahap meluaskan daerah kekuasaan mereka, setelah pasukan koalisi NATO mulai ditarik.
Kelompok ISIS di Afghanistan selama ini melakukan serangan acak ke berbagai lokasi di negara itu. Saat ini mereka juga bermusuhan dengan Taliban karena berbeda paham dan tujuan.
Penarikan pasukan NATO dan AS adalah bagian dari perjanjian damai dengan Taliban. Namun, hal itu juga memicu kekhawatiran ancaman perang saudara antara pemerintah Afghanistan dengan kelompok Taliban. Sampai saat ini perundingan antara kedua belah pihak yang difasilitasi Rusia dan Qatar masih berjalan alot.
Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan mereka menyambut baik keputusan AS dan NATO menarik seluruh pasukan mereka dari Pangkalan Udara Bagram yang selama ini menjadi pusat kendali operasi militer pasukan koalisi.
Pangkalan udara yang awalnya dibangun oleh Uni Soviet saat menyerbu negara itu berubah menjadi kompleks militer yang lengkap berisi pusat kebugaran, kantin makanan cepat saji hingga kafe. Di sana juga terdapat lokasi monumen puing-puing peristiwa serangan teror Gedung WTC pada 11 September 2001, dan juga lokasi rahasia Badan Intelijen AS (CIA) yang digunakan untuk menginterogasi para tersangka teroris kelas kakap.
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, mencoba meyakinkan diri dan rakyatnya bahwa mereka yang berhak menentukan masa depan negara itu. Apakah ingin terus terjerumus ke dalam peperangan tiada akhir atau pihak-pihak yang bertikai segera berdamai.
Sampai saat ini Taliban menolak melakukan gencatan senjata dengan militer Afghanistan. Para serdadu Afghanistan pun banyak yang lari dari markas mereka karena takut dibunuh Taliban.
Sedangkan kelompok milisi yang berbasis suku atau paham tertentu juga bersiap jika memang setelah pasukan koalisi pergi maka justru terjadi perang saudara. Sebab, mereka di masa lalu juga bertempur melawan Taliban.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah nasib dari sekitar 10 ribu penduduk Afghanistan yang bekerja untuk AS atau pasukan koalisi. Mereka khawatir bakal menjadi sasaran pembunuhan karena dinilai sebagai pengkhianat oleh Taliban. (cnn/data3)
Discussion about this post