SINABANG, Waspada.co.id – Segala tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara disebut korupsi.
Begitu definisi korupsi menurut Undang- undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberatasan tindak pidana korupsi.
Dalam UU tersebut sangsi atau ancaman pidana bagi pelaku yang terlibat praktik korupsi jua tak main-main. Itu sebabnya warning terhadap kejahatan rasuah kerap disuarakan berbagai elemen. Mulai dari aktivis, LSM, unsur pemerintah, intitusi penegak hukum, hingga Komisi Pemberatasan Koruspi (KPK). Intinya, seruan perang terhadap korupsi.
Nah, ditengah atensi pemberantasan korupsi, tiba- tiba publik di Aceh dihebohkan dengan putusan majelis hakim tindak pidana korupsi Banda Aceh yang mengabulkan permohonan pengalihan status penahanan terhadap lima orang terdakwa kasus dugaan korupsi dinas PUPR Simeulue dari Rumah tahanan (Rutan) Kajhu menjadi tahanan rumah.
Dikutip dari Ajnn.com, pertimbangan majelis hakim mengabulkan pengalihan penahanan setelah pihak keluarga, kuasa hukum dan pemerintah Simeulue menjamin para terdakwa tetap kooperatif mengikuti proses persidangan.
“Ada surat pemerintah Simeulue yang menjamin para terdakwa selain pihak keluarga dan kuasa hukum, bahwa para terdakwa tidak akan melarikan diri dan tetap kooperatif,” kata Humas Pengadilan Negeri Banda Aceh, Sadri, Jumat (19/2).
Jaminan pengalihan penahanan itu sontak memantik reaksi berbagai kalangan. Di antaranya datang dari Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safarudin.
Menurut Safarudin, langkah Bupati Simeulue Erli Hasyim menjamin pengalihan status penahanan perkara korupsi dari Rutan Kaju ketahanan rumah terkesan aneh. Sebab, kelima terkdawa sedang menjalani proses penegakan hukum.
“Kok bupati menjamin pengalihan penahanan terdakwa kasus korupsi. Inikan aneh dan tidak etis. Kalau memang begitu, harusnya bupati juga menjamin semua aparatur pemerintah di Simeulue, jangan hanya lima orang itu.“ Ujar Safarudin kepada Waspada.co.id, (20/2).
Sambungnya, dalam persoalan korupsi, mestinya bupati Erli Hasyim menghormati proses hukum yang sedang berjalan dengan cara tak mencampuri. Apalagi, kasus dugaan korupsi dinas PUPR Simeulue itu santer dan menjadi perhatian publik.
“Kan mereka (terdakwa) bisa membela dirinya kalau memang tidak bersalah, ngapain bupati ikuti campur. Memang itu haknya, tapikan tidak etis apalagi ini perkara korupsi. Dan setahu saya baru kali ini bupati di Aceh menjamin pengalihan tahanan terdakwa kasus korupsi,” kata Safarudin lagi.
Penuturannya kepada waspada.co.id, ia juga berencana akan melapor ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial. Tujuannya, agar perkara tersebut dipantau dua lembaga negara itu.
“Rencana akan kita laporkan ke Bawas MA dan Komisi Yudisial agar perkara ini dapat diawasi,” tandasnya.
Seperti diketahui, kasus dugaan korupsi Dinas PUPR Simeulue terungkap bebrapa bulan lalu. Dari total anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan Rp10,7 miliar tahun 2017 lalu, ditemukan kerugian negara mencapai Rp5,7 miliar.
Kerugian negara itu diketahui pasca Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (LHAPKKN) Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) Perwakilan Aceh.
Kasus itu lantas ditangani Polda Aceh, dari hasil penyelidikan dan penyidikan, lima orang pegawai Dinas PUPR Simeulue masing berinisial BF, AH, AL, AF, dan DA ditetapkan tersangka.
Lalu penghujung Januari 2021, kasus korupsi tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan dengan barang bukti uang sebesar Rp1,4 miliar, seterusnya tanggal 10 januari atau kurang lebih pekan lalu, perkara dugaan korupsi ini mulai berlabuh di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. (wol/ind/d2)
Editor: Agus Utama
Discussion about this post