MEDAN, Waspada.co.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) mendesak Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengevaluasi izin Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi di Mandailing Natal (Madina) atas kebocoran gas.
“Kita sangat berharap bahwa Kementrian ESDM bisa mengambil sikap dengan mengevaluasi izin PLTP ini, karena tidak menutup kemungkinan ke depan akan semakin banyak yang akan menjadi korban, baik masyarakat juga lingkungan,” kata Direktur Walhi Sumut, Donni Latuparissa, Kamis, (28/1).
Donni menyebutkan, perusahaan tersebut harus segera menangani pencemaran lingkungan akibat kebocoran, karena jika tidak maka dampaknya akan berakibat kepada masyarakat.
“Kejadian ini menjadi pelengkap buruknya tata kelola perizinan, perencanaan, dan pelaksanaan hingga pengoperasian PLTP Sorik Marapi,” sebutnya.
Lebih lanjut, Donni mengungkapkan, Walhi menduga kejadian tersebut mengindikasikan perusahaan tidak mampu menjalankan kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku. Misalnya dalam Permen ESDM nomor 37 tahun 2018 tentang pemberian Izin Panas Bumi dan penugasan penguasaan panas bumi.
Menurut Donni, dalam aturan itu disebutkan perusahaan harus patuh dalam menjalankan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan standar yang berlaku.
“Kejadian bocornya pipa gas ini mengindikasikan adanya ketidakmampuan perusahaan dalam menjalankan kewajibannya,” kata Donni.
Selain aturan yang diduga tidak dipatuhi, beroperasinya PLTP Sorik Marapi masih menjadi polemik. Misalnya, terkait akuisisi 100 persen perusahaan PT SMGP kepada KS Orka (Singapura), sempat dipertanyakan oleh Komunitas Mandailing Perantauan ke Kementerian ESDM pada tahun 2016 lalu.
“Belum lagi izin PT SMGP ini pernah dibekukan oleh Bupati Mandailing Natal pada 9 Desember 2014. Dengan pertimbangan bahwa perusahaan ini sudah membuat masyarakat menjadi korban dan tahap eksplorasi sudah tahap merusak lingkungan dan menimbulkan bencana alam,” jelasnya.
Selian itu, Donni menjelaskan, persoalan lain yang menjadi catatan Walhi adalah penerapan Permen ESDM nomor 37 tahun 2018 tentang penawaran wilayah kerja panas bumi, pemberian izin panas panas bumi dan penugasan panas bumi.
Semestinya pemegang izin wajib memahami dan menaati Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), baik warga maupun masyarakat sekitar. Selain itu perusahaan wajib melakukan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan di lokasi PLTP.
“Pun demikian, praktik-praktik pembebasan lahan melalui SK 44 tahun 2005 dan SK 579 Tahun 2014 yang kemudian menetapkan areal yang digarap secara turun temurun oleh warga Sorik Marapi sebagai kawasan hutan, cenderung dipaksakan untuk menyokong PSN 35.000 MW yang dicanangkan,” pungkasnya.(wol/man/d2)
Editor: SASTROY BANGUN
Direktur Walhi Sumut, Donni Latuparissa.
Discussion about this post