
DENPASAR – Kongres V PDIP di Sanur, Denpasar, Bali mulai 8-10 Agustus 2019 mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Termasuk di bidang politik dan sistem ketatanegaraan.
Salah satunya menyepakati perlunya dilakukan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dengan adanya amandemen tersebut MPR bisa memiliki kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Poin ini sebagai salah satu sikap politik hasil Kongres V PDIP yang dibacakan Ketua Umum PDIP Periode 2019-2024 Megawati Soekarnoputri dalam pidato penutupan Kongres, Sabtu (10/8/2019).
Ketua DPP Bidang Luar Negeri Ahmad Basarah mengatakan, konsep GBHN yang diusulkan PDI Perjuangan tidak sama dengan GBHN zaman Orde Baru dimana Presiden sebagai mandataris MPR dan Presiden dipilih oleh MPR.
“Jadi konsep hakuan negara yang diusulkan PDI Perjuangan adalah untuk memberikan kembali wewenang MPR untuk menetapkan kembali garis-garis besar haluan negara untuk menyempurnakan kekurangan UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang sebagai pengganti sistem GBHN yang ada di UU Dasar,” ujar Basarah kepada wartawan ditemui usai penyerahkan hewan kurban di Masjid Al-Ihsaan Grand Inna Bali Beach, Sanur, Denpasar, Minggu (11/8/2019).
Basarah yang juga menjabat Wakil Ketua MPR RI ini juga menjelaskan, pengertian mengusulkan kembali MPR untuk menetapkan GBHN itu tidak sama dengan menjadikan MPR sebagai lembaga yang memilih presiden dan menjadikan presiden sebagai mandataris MPR.
“Jadi presiden dalam konsep amandemen terbatas PDI Perjuangan itu tetap dipilih oleh rakyat, tapi dalam hal menyusun visi-misi calon presiden dan calon wakil presiden, begitu juga turun ke bawah ke calon gubernur wakil gubernur, dia harus berpedoman pada roadmap pembangunan nasional yang telah ditetapkan oleh GBHN itu,” paparnya.
Dia juga mengatakan, langkah itu diambil karena Indonesia dinilai perlu memiliki kepastian hukum sehingga siapapun presiden, gubernur, bupati atau walikota yang menjabat, kesinambungan pembangunan nasional tetap terjaga.
“Enggak seperti sekarang, ganti presiden, ganti visi-misi, ganti program. Ganti gubernur, bupati, walikota, ganti visi-misi, ganti program,” urainya.
Dengan adanya perubahan amandemen terbatas itu, diharapkan pembangunan di Indonesia lebih terukur progresnya karena setiap pemimpin yang baru selalu punya ego sektoral.
Discussion about this post