
JAKARTA – Penetapan hasil Pilpres 2019 sudah dilakukan oleh KPU pada dinihari tadi dinilai merupakan momentum penting bagi seluruh elemen demokrasi Indonesia untuk mencermati artikulasi mandat rakyat kepada penyelenggara negara.
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi menjelaskan penetapan KPU merupakan satu-satunya rujukan yang legitimate mengenai hasil Pemilu.
“Jika kontestan Pemilu tidak puas dengan hasil Pilpres yang ditetapkan oleh KPU, maka para kontestan dapat menggunakan satu-satunya saluran memperjuangkan keadilan elektoral dan mempersoalkan ketidakadilan termasuk dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif, yaitu dengan mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi,” kata Hendardi dalam keterangan pers yang diterima Okezone, Selasa (21/5/2019).
Aturan main demokratis tersebut sudah disepakati oleh para kontestan Pemilu, jauh sebelum tahapan Pemilu dilaksanakan. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menggunakan cara-cara di luar mekanisme konstitusional yang disediakan oleh aturan main yang disepakati pada dasarnya merupakan tindakan pengkhianatan atas kesepakatan kolektif.
“Aksi massa yang akan dilakukan oleh salah satu kontestan Pilpres pada 22 Mei melalui mobilisasi pendukungnya merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural. Sebab aturan main Pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil Pemilu,” katanya.
Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April yang lalu.
Dengan perspektif tersebut, maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin penikmatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi biasa, sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sesuai dengan regulasi yang relevan untuk itu, maka aksi demonstrasi dimaksud mesti dilakukan secara damai dengan tidak merusak tertib sosial, tertib politik, dan tertib hukum yang berlaku,” katanya lagi.
Berkaitan dengan itu, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demos secara keseluruhan.
“Publik hendaknya tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial,” katanya.
Discussion about this post