SIBOLGA, Waspada.co.id – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru menuai pro dan kontra di masyarakat. Sebab, ada banyak kepentingan yang dipertaruhkan untuk mewujudkan keinginan tersebut. Hal itu dikatakan Novi Rovika dari Centre Orangutan Protection (COP) dalam pemaparannya kepada sejumlah awak media, Selasa (30/4) malam.
Dikatakan, COP menemukan dampak sosial yang cukup signifikan atas pembangunan PLTA Batangtoru ini. Di mana masyarakat hulu hingga hilir dipastikan akan menerima dampaknya. “Masyarakat sekarang lagi bingung antara menolak atau melawan,” katanya.
Novi menambahkan, awalnya masyarakat wilayah hulu PLTA Batangtoru Desa Bulu Payung Kecamatan Sipirok merasa ditipu oleh kontraktor, karena mereka dijanjikan bekerja. Tetapi faktanya mempekerjakan orang luar bahkan asing (Cina). Parahnya lagi, pengamanan pembangunan proyek ini dijaga anggota Brimob.
“Wilayah Tengah Kecamatan Marancar, pembebasan lahan warga dilakukan calo. Sehingga tanah yang diganti rugi menjadi sangat murah Rp4000 per meter. Perusahaan banyak melakukan pelanggaran komitmen dalam jual beli. Mata pencaharian warga seperti bertani dan berkebun akhirnya terganggu. Ditambah lagi karena iming-iming perusahaan tidak terealisasi, pengangguran bertambah,” terangnya.
Sementara itu wilayah hilir Kecamatan Batangtoru, sosialisasi pembangunan PLTA tidak tersosialisasi dengan baik. Pembangunan PLTA mengancam lahan-lahan yang dikelola masyarakat, tepat berada di bantaran Sungai Batangtoru yang saat ini sudah mengalami abrasi.
“Sekarang akibatnya masyarakat mulai sensitif dengan kehadiran orang tidak dikenal masuk ke kampung mereka. Masyarakat juga mendapat intimidasi sehingga takut melawan. Kalau melawan akan dibenturkan dengan aparat (Brimob, red),” jelasnya.
COP berkesimpulan, tidak berjalannya proses fpic (free prior informed concern) yang bisa memfasilitasi keterwakilan mha/mkl sebagai representarif masyarakat terdampak. Di mana proses ini harus berjalan partisipatif sehingga semua informasi menjadi jelas, transparan dan mudah dipahami. Selain itu juga, kurang mendalamnya proses sia (social impact assesment) yang bertujuan untuk mengenali jenis dampak dan mengenali para pihak (yang terdampak, siapa yang berkepentingan dan siapa pihak yang mengambil keuntungan).
“COP merekomendasikan, pendampingan secara komprehensif dan berkelanjutan untuk menyusun kebali tahapan advokasi. Selanjutnya perumusan isu untuk policy brief, melakukan identifikasi terhadap dampak (positif dan negatif), bangun kekuatan, punya base perjuangan yang jelas, apa dan siapa yang diperjuangkan, bangun jaringan serta melakukan proses menyuarakan ke para pihak yang berkepentingan,” tutupnya.(wol/mrz/data2)
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post