WOL – Pakar kosmologi dan fisika teoretik Stephen Hawking telah meninggal dalam usia 76 tahun, Rabu (14/3). Dia meninggalkan dua buku monumentalnya, yakni “A Brief History of Time” (1988) dan “The Grand Design” (2010).
Isinya secara umum membahas tentang hukum-hukum fisika dan fenomena alam semesta, tetapi kemudian dikaitkan dengan eksistensi Tuhan menurut cara pandang pribadi. Kesimpulannya: tidak ada Tuhan.
Sebagian orang menafsirkan dari dua buku tersebut bahwa Hawking telah berubah dalam memahami terbentuknya alam semesta. Namun menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Thomas Djamaluddin, tidak ada perubahan pandangan dari dua buku Hawking tersebut.
“Cara pandang Hawking dalam buku pertama dan kedua sama saja,” kata Thomas Rabu (14/3).
Stephen Hawking menghadiri pemutaran perdana film ‘The Theory of Everything’ di Leicester Square, London, (9/12/2014).
Bagaimana penjelasannya? Pada buku pertama, jelas Thomas, Hawking menyatakan tidak ada batas dalam waktu, tidak ada singularitas big bang dengan menyebutnya “no boundary condition”. Dengan menggunakan keadaan tak berbatas ini (no boundary condition), Hawking menyatakan bahwa alam semesta mulai hanya dengan keacakan minimum yang memenuhi “prinsip ketidakpastian”.
Kemudian alam semesta mulai mengembang dengan pesat. Dengan “prinsip ketidakpastian” ini, alam semesta tak mungkin sepenuhnya seragam karena di sana-sini pasti didapati ketidakpastian posisi dan kecepatan partikel-partikel. Dalam alam semesta yang sedang mengembang ini, kerapatan (density) suatu tempat akan berbeda dengan tempat lainnya.
Gravitasi menyebabkan daerah yang berkerapatan tinggi makin lambat mengembang dan mulai memampat (berkontraksi). Pemampatan inilah yang akhirnya membentuk galaksi, bintang, dan semua benda langit.
Berdasarkan model tersebut, jelas Thomas, Hawking menyatakan, “Sejauh anggapan bahwa alam semesta bermula, kita mengganggap ada Sang Pencipta, tetapi jika alam semesta sesungguhnya ada dengan sendirinya, tak berbatas tak bertepi, tanpa awal dan akhir, lalu di manakah peran Sang Pencipta.”
Pada buku kedua yang dia tulis bersama pakar fisika Leonard Mlodinow, isinya mengulas tentang alam semesta dan hukum-hukumnya secara populer. Bagian utama yang disorot tentang teori mekanika kuantum dan teori relativitas yang diarahkan untuk menjelaskan bahwa alam semesta dapat terbentuk dari ketiadaan.
Hawking menyatakan, “Karena ada hukum seperti hukum gravitasi, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya dari ketiadaan. Penciptaan dengan sendirinya menjadi alasan adanya sesuatu bukannya ketiadaan, adanya alam semesta, dan adanya kita. Tidak perlu campur tangan Tuhan untuk menjadikan alam semesta.”
Menurut Thomas, inti pesan dari dua buku itu tidak ada perbedaan. Lantaran ada hukum alam, seperti hukum gravitasi, maka alam semesta bisa tercipta dengan sendirinya. Peran Tuhan tampaknya digambarkan sesuai dengan definisi keyakinan Hawking sehingga keberadaan hukum alam itu dianggap ada dengan sendirinya.
Kalau mau ditelusur lagi logikanya, ungkap Thomas, kita bisa mempertanyakan, lalu hukum alam itu dari mana asal usulnya? Hawking tidak membahas asal-usul hukum itu. “Logika orang beriman segera mengarahkan bahwa pasti ada Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan hukum-hukum di alam,” papar Thomas.
Dalam bahasa Islam, kata Thomas yang lulusan Astronomi ITB ini, hukum alam diistilahkan sebagai sunnatullah. Perintah-Nya ketika menciptakan alam “kun fa ya kun, Jadilah maka jadilah”, bisa dipahami dalam bahasa sains bahwa Allah menciptakan alam dengan menciptakan hukum-hukum-Nya sehingga alam berproses sesuai hukum Allah (sunnatullah) tersebut.
“Jangan dibayangkan Allah menciptakan seperti manusia mencipta. Allah memang menciptakan alam semesta dengan cara-Nya,” kata Thomas.
Dosen Prodi Fisika ITB Prof Bobby Eka Gunara menambahkan, yang kontroversi dari Hawking adalah pandangannya mengenai Tuhan dalam pembentukan alam semesta. Hawking, kata Bobby, menihilkan peran Tuhan dalam pembentukan alam semesta yang masih menjadi perdebatan.
“Kehidupan akademik di Inggris kan ateis. Jadi setahu saya, memang tidak ada perubahan sikap Hawking dalam hal ini,” kata Bobby. Bobby menyoroti kiprah Hawking yang banyak berkontribusi pada perkembangan model kosmologi dan pengetahuan tentang termodinamika lubang hitam.
Peneliti astrofisika Lapan, Emanuel Sungging Mumpuni, berpendapat senada. Hawking berperan besar pada pengembangan pemahaman kita tentang lubang hitam dan mekanika kuantum. Sebut misalkan, adanya Radiasi Hawking yang terpancar dari lubang hitam terkait efek kuantum pada lubang hitam.
Kontroversi alien
Dua buku Hawking tentang teori terbentuknya alam semesta tersebut, menurut Sungging, merupakan cara dia memasyarakatkan pengetahuan dengan bahasa awam. “Kita tak hanya kehilangan seorang ilmuwan penting yang meletakkan pijakan pada kemajuan ilmu pengetahuan, tapi juga figur ilmuwan yang bisa mempopulerkan pemahaman kepada masyarakat awam,” katanya.
Yang menarik, menurut Sungging, adalah pandangan Hawking tentang alien atau makhluk angkasa tak dikenal. Hawking berpendapat bisa jadi alien itu ada. Apabila berkontak dengan bumi, bisa terjadi seperti ketika benua Amerika ditemukan oleh bangsa Eropa.
“Hawking seorang visioner, memiliki pandangan pada kehadiran makhluk planet lain, kolonisasi antariksa. Juga seorang yang peduli lingkungan sebagai pendukung pentingnya isu ‘pemahaman global’ demi keberlangsungan generasi mendatang,” kata Sungging.
Pakar komputasi dan informasi kuantum dari Universitas Binus Agung Trisetyarso mengungkapkan, di akhir hayatnya, Hawking sebenarnya sempat berdebat keras dengan David Deutsch dari Oxford University. Hawking berpendapat bumi tidak sustain lagi. Umat manusia harus pindah secepatnya ke planet lain. Sedangkan Deutsch berpendapat lain. “Umat manusia harus optimistis tidak hingga dengan bumi yang ada,” kata Agung.
Menurut Agung, Hawking adalah salah satu fisikawan yang melegenda. Hawking adalah lucasian professor of mathematics. Di antara pendahulunya adalah Isaac Newton, Charles Babbage (disebut sebagai bapak komputer), Sir George Stokes, dan Paul Dirac (penerima hadiah Nobel).
Pada umur 26 tahun, Hawking mampu menulis di Journal of Mathematical Physics pada 1968. Dari sinilah awal teori Radiasi Hawking yang merupakan peninggalan terbesarnya. “Bahwa black hole tidak sepenuhnya black, tapi ada radiasi dari sana,” kata Agung.
Hawking kemudian mengembangkan teorinya soal ledakan lubang hitam yang dipublikasikan di majalah Nature. Kontribusi Hawking terus berkembang hingga kini, termasuk di bidang komputasi kuantum, seperti yang dikembangkan oleh Alexei Kitaev dari California Institute of Technology.
Hawking juga pernah bertaruh dengan Kip Thorne (penguji doktoralnya di Cambridge University) dan John Preskill terkait paradoks informasi di lubang hitam. “Di akhir pertaruhan, Kip Thorne yang menang, tapi persahabatan mereka tidak rusak,” kata Agung.(republika/data1)
Discussion about this post