JAKARTA, WOL – Presidential Threshold yang tertuang dalam Undang-undang Pemilu menuai pro dan kontra. Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman menjelaskan, bahwa Presidential Treshold hanya memperpanjang kontrak politik sehingga berpotensi bagi-bagi jabatan.
“Presidential Threshold jelas menabrak logika Presidensialisme, bagaimana mungkin seorang presiden dipilih berdasarkan pemilihan umum legislatif. Kondisi seperti ini akan melahirkan kontrak politik dalam hal bagi-bagi kursi, bagi-bagi jabatan, dan bagi-bagi kekuasaan,” tegas Habiburokhman dalam diskusi Presidential Threshold dan Masa Depan Demokrasi, di Bangi Kopi, kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Sabtu (21/10).
Dia melanjutkan, bahwa Presidential Threshold bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan pemerintahan dipimpin oleh seorang Presiden. Artinya pasal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem Presidensiil.
“Presidential Threshold menghalangi munculnya calon-calon presiden dan bertentangan dengan multikultur Indonesia,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menerangkan bahwa Presidential Threshold menimbulkan diskriminasi kepada partai yang mengikuti Pemilu. Sebab, banyak partai baru yang belum mempunyai suara pada tahun 2014, sehingga mereka tak mempunyai modal untuk terlibat dalam Pemilu Presiden tahun 2019.
“Kalau pasal PT tidak dihapuskan maka akan terjadi diskriminasi terhadap partai-partai politik peserta pemilu. Karena prinisip konsitusi yaitu harus ada kesetaraan perlakuan terhadap partai yang sudah punya modal suara dan partai yang belum punya modal suara maka harus di perlakukan semua,” tutur Refly.
“Kalau ini kan beda, pemilu 2019 dilaksanakan tapi modal lama (pemilu 2014) dipakai, sedangkan partai baru belum punya modal karena belum punya suara. Ini yang menjadi alasan saya bahwa PT dari segi konstitusi sebaiknya ketentuannya dibatalkan,” tambahnya. (merdeka/ags/data1)
Discussion about this post