
JAKARTA – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berharap pertemuan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrat tidak hanya sekadar simbolik.
“Mumpung ada pertemuan saya usulkan agar keinginan lama kita tidak berhenti pada pertemuan simbolik. Mulailah membahas masalah serius, bahkan (hasilkan wacana) alternatif terkait mengelola pemerintahan,” kata dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/7/2017).
Fahri mengatakan pertemuan Prabowo-SBY akan lebih menarik bila ditindaklanjuti dengan memunculkan konten alternatif untuk masyarakat. Ia mendorong kedua belah pihak mengikat diri membentuk konsep, visi dan narasi mengenai pembangunan yang dibahas sejak awal.
“Apakah mau teruskan konsep KMP-KIH, jadi (agar) dibikin lebih menarik. Rakyat harus diberi konten alternatif,” ucap dia.
‎”Ya misalnya membentuk koalisi, idenya apa, pandangannya apa, gitu. Kalau sekadar pertemuan ya itu simbolik. Kita mau yang lebih konkret, harus ada isinya. Kita perlu tontonan segar,” sambung Fahri.
Lebih dari itu, Fahri juga menginginkan adanya gerakan yang lebih konkrit dari gerakan moral semata. Pasalnya, ‎bila gerakan moral saja semua orang pun bisa melakukannya. Tujuannya menginginkan adanya poros politik di antaranya untuk membatasi para politisi agar tidak seenaknya pindah haluan.
“Saya dulu penggagas KMP-KIH. Kita ingin tidak ada kelompok datang dan pergi, tidak setia. Seperti perselingkuhan,” tandasnya.
Fahri melanjutkan bila ada poros politik baru maka segala perdebatan politik dapat ‎dikutubkan secara permanen. Ketika kepemimpinan koalisi terbentuk, ia yakin akan ada satu konsep besar alternatif sebagai solusi dari permasalahan bangsa.
“Saya usulkan sederhanakan dulu (dibentuknya poros atau koalisi). Kalau ada dua pandangan kan menarik. Asyik nontonnya. Kalau sekadar ngerujak, makan nasi goreng, ya itu kan (biasa saja),” ungkapnya.
Lebih lanjut, Fahri menegaskan politik itu tidak sekadar silaturahmi, melainkan harus melahirkan suatu gagasan yang dapat berguna bagi bangsa. Gagasan yang terlembagakan dalam suatu koalisi, kata dia, haruslah lebih baik dari masa-masa sebelumnya.
“Saya mengharapkan rivalitas lama mulai digeser, dari individual-simbolik menjadi rivalitas publik-massif. Tidak sekadar mengadu (gagasan atau konsep). (Saat ini) sistemnya sudah ada. Perdebatannya harus diperlebar dan lebih riil‎. Kita harus tinggalkan narasi pencitraan dan sekarang harus otentik,” pungkas dia.
Discussion about this post