TOBASA, WOL – Untuk bisa berhasil, pengelolaan hutan kemasyarakatan memerlukan kerja sama dengan barbagai pihak, sehingga tujuan akhirnya berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa dicapai.
Pendapat itu dikemukakan pengelola Taman Eden-100 (TE-100) Marandus Sirait (49), Selasa (23/8), berkaitan dengan adanya keinginan pemerintah mewujudkan hutan kemasyarakatan untuk dikelola oleh masyarakat hukum adat (MHA).
TE-100 merupakan lahan seluas 45 hektar milik keluarga Marandus berada di Dusun Lumbanrang, Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumbanjulu, Kabupaten Toba Samosir, dikelola oleh keluarga Marandus sejak 1999 hingga berkembang menjadi objek wisata hutan. Lokasi itu berupa hamparan berbukit pada ketinggian 1.150 meter dpl (di atas permukaan laut).
Letaknya di kaki pegunungan Bukit Barisan dan setempat dikenal sebagai gunung Pangulu-Bao (2.150 meter dpl). Jaraknya dari kota turis Parapat sekitar 17 km, dari Balige 40 km, dan dari bibir Danau Toba terdekat di Desa Pangaloan sekitar 8 km.
Semula, terdapat puluhan jenis vegetasi alam, sebagian sudah langka namun bernilai ekonomis tinggi yang dilestarikan dan dalam bahasa setempat antara lain dikenal sebagai sampinur bunga, sampinur tali, hoting, sialagundi, simartolu, api-api, ingul, halembang, attarasa, dan andalehat.
Andalehat, jenis kayu keras dan sudah hampir punah, bisa tumbuh besar (garis tengah sampai 150 cm) dan karena itu lazim dijadikan bahan pembuatan solu (perahu). Selain itu adapiu-piu tanggule, buahnya manis, memiliki nilai budaya tinggi karena dijadikan bahan pembuatan tongkat tunggal panaluan (tongkat raja dalam upacara adat Batak).
Dalam suatu acara penghijauan di Hutaginjang, awal Agustus lalu, Marandus menyerahkan bibitnya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, yang kemudian meminta pihak Kehutanan membantu pembudidayaannya di kawasan Danau Toba.
Keluarga Marandus memperkaya vegetasi lokal itu dengan ratusan jenis pohon berbuah (sebagai dasar penamaan TE-100) termasuk andaliman. Andaliman adalah sejenis rempah hutan yang sejauh ini diketahui hanya tumbuh di kawasan Toba, terkenal bersama kincung sebagai penyedap kuliner arsik, ikan mas yang dimasak bersama berbagai jenis sayur (terong,kacang panjang).
Para perantau asal Toba mengeringkan dan menggiling buah andaliman yang mirip buah merica menjadi tepung sebagai oleh-oleh yang khas. Selain ada pohon-pohonan, juga ada sampuran (air terjun alam pegunungan). Berkat kerja keras dan ketekunan, maka TE-100 berkembang menjadi salah satu objek wisata alam bagi para pelancong Danau Toba.
Mengelola hutan, menurut penerima penghargaan Kalpataru itu, sangat tidak mudah. Diperlukan setidaknya dua syarat untuk bisa berhasil, yakni komitmen tinggi dan juga kerja sama. Komitmen meliputi tekad bulat melestarikan hutan yang masih ada, apa pun “harga” yang harus dibayar. Sering, idealisme untuk bersahabat dengan dan melestarikan hutan pada suatu titik melemah bersmaan dengan kelelahan atau berbenturan dengan kepentingan lain seperti ekonomi.
“Kadang kita bisa juga kehabisan napas, tetapi tetap menolak uluran tangan teman karena tidak sejalan dengan tujuan pelestarian. Lalu kita disebut ‘gila’ dan hal semacam itu sudah biasa terjadi,” kata Marandus.
Pelibatan masyarakat menjadi mitra-usaha di bidang pengelolaan hutan pada era Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo 2015-1019, dirumuskan dalam lima bentuk HTR (hutan tanaman rakyat), HKm (hutan kemasyarakatan), HD (hutan desa), HA (hutan adat) dan HR (hutan rakyat), dan perwujudannya sedang berproses. Target pencapaiannya 12,7 juta hektar melalui pemberdayaan 2.500 komunitas atau 22 ribu orang.
Bila saat pengelolaan hutan oleh masyarakat itu sudah tiba, Marandus berharap para pemangku kepentingan terutama pemerintah lokal dan korporasibersedia membantu pemberdayaan MHA yang umumnya tidak punya cukup modal–melalui berbagai konsep kerja sama. Ini penting agar tujuan mulia pemberian peran kepada masyarakat ikut mengelola hutan secara lestari sekaligus meningkatkan kesejahterannya, lebih mudah tercapai.
Ia mengingatkan, tujuan pengelolaan sumber daya alam (SDA) hutan oleh pihak manapun sebenarnya sama, yakni menghasilkan sebesar-besar manfaat bagi masyarakat. Pengelolaan hutan melalui korporasi juga tidak terlepas dari tujuan tersebut melalui penyediaan lapangan kerja, lapangan usaha (kemitraan bisnis), penyisihan dana CSR serta pelunasan kewajiban terhadap negara.
“Kini saatnya semua elemen bangsa bersinergi, bukan sebaliknya,” kata pemusik yang pernah lama berkiprah di gereja ini. (wol/rls/mrz/data1) Â
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post