MEDAN, WOLÂ – Komisi D DPRD Sumatera Utara mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kontrak karya tambang emas dan perah dengan PT Agincourt Resources di Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan. Pasalnya, kegiatan menambang yang dilakukan PT Agincourt Resources menjurus pada perusakan lingkungan.
Ketua Komisi D DPRD Sumatera Utara Mustofawiyah Sitompul mengatakan, PT Agincourt Recources mendapatkan kontrak karya untuk eksplorasi dan ekspolitasi pertambangan emas dan perak di atas areal tanah seluas 1.639 m2 di Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Kontrak karya tersebut dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun.
Dari kontrak karya itu, pihak Agincourt mendapatkan potensi emas 8,3 juta ons emas dan 73,8 juta ons perak yang diangkat dari kedalaman 120 meter dari struktur dasar permukaan tanah. Namun kenyataannya kedalaman penambangan yang dilakukan PT Agincourt mencapai 400 meter.
“Bisa dibayangkan, bagaimana kerusakan lingkungan yang dilakukan PT Agincourt terhadap Sumut dan Tapsel,†ujar Mustofawiyah didampingi sejumlah anggota Komisi D lainnya Muslim Simbolon dan Leonard Surungan Samosir, Senin (2/11).
Ditambahkan Muslim, kontribusi yang diberikan kepada pemerintah pusat maupun daerah sangat kecil dan tidak sebanding dengan potensi emas dan perak yang ditambang. Ia memperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun, PT Agincourt diprediksi mendapat 80 ton emas dengan estimasi 8 ton emas per tahun dan perak diperhitungkan 4 kali lipat dari hasil tambang terhadap emas.
Dari laporan pihak manajemen, tambah Muslim lagi, kontribusi yang diperoleh pemerintah Indonesia diluar pajak-pajak dan royalti, yaitu iuran tetap dari wilayah kontrak karya (wilayah pertambangan) pada tahun 2014, pihak Agincourt hanya memberi Rp5 milyar lebih, tahun 2012 Rp3,6 milyar dan tahun 2013 Rp4,9 milyar. Dari iuran ekploitasi atau produksi untuk mineral yang mereka produksi tahun 2014, pemerintah mendapat Rp25 milyar lebih. Tahun 2012 sebesar Rp21 milyar dan tahun 2013 sebesar Rp23 milyar.
“Kalau dilihat dari luasan lahan tambang yang diberikan kepada PT Agincourt Recources seluas 1.639 m2, lebih luas dari negara Singapur, tapi kontribusi yang diperoleh pemerintah Republik Indonesia untuk tahun 2014 totalnya diperkirakan hanya Rp30 milyar lebih, sementara kerusakan lingkungan yang ditanggung Sumut dan Tapsel sangat besar,†ungkap Muslim.
Kontribusi yang diberikan pihak Agincourt tersebut, tandas Muslim, masih lebih besar kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh Pemkab Tapsel dari satu pabrik kelapa sawit.
“Artinya, PT Agincourt Recources tidak lebih dari Freeport kedua. Kita minta pemerintah segera meninjau ulang kontrak karya tersebut sebelum terlambat. Jika dibiarkan terus, kita khawatir Sumut dan Tapsel akan jadi penonton kerusakan lingkungan dirumah sendiri,†tandasnya.
Karena itu, lanjut Leonard, Pemprovsu dan DPRD Sumut akan segera menyampaikan masalah ini kepada pemerintah pusat untuk menegosiasikan agar kontrak karya dengan PT Agincourt ditinjau ulang. Kalau kontrak karya itu dipertahankan sampai akhir kontrak, bertentangan dengan UU No 22/2012 tentang otonomi daerah dan sampai kapanpun pemerintah daerah tidak dapat apa-apa, kecuali menanggung kerusakan lingkungan.
“Sebelum menemui pemerintah pusat, Komisi D akan rapat gabungan dengan Komisi C terkait untuk mendiskusikan, sebelum menegosiasikan kontrak karya dengan Agincourt ke Jakarta,†tambah Mustofawiyah.(wol/cza/data1)
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post