JAKARTA, WOL – Nilai tukar Rupiah akhirnya menembus Rp14.000Â per USD. Pada penutupan perdagangan hari ini, Senin (24/8) Rupiah masih bergerak ke atas level Rp14.000 per USD.
Berdasarkan data Bloomberg Senin (24/8/2015), nilai tukar Rupiah berada pada Rp14.049 per USD atau melemah 108,20 persen atau 0,78 persen ketimbang dengan perdagangan di akhir pekan lalu.
Rupiah juga limbung dalam perdagangan di Yahoo Finance. Nilai tukar rupiah mencapai Rp14.043 per USD atau melemah ketimbang dengan posisi sepekan lalu yang mencapai Rp13.885 per USD.
Sedangkan dalam kurs referensi Jakarta interbank spot dolar rate (JISDOR), mata uang rupiah berada di Rp13.998 per USD di Senin (24/8/2015) atau melemah ketimbang dengan posisi pada sepekan kemarin yang mencapai Rp13.895 per USD.
Anjloknya Rupiah disikapi Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo. Agus mengaku, bahwa dirinya terus menerus mengikuti perkembangan nilai tukar rupiah. Adanya tekanan nilai tukar rupiah yang tengah terjadi tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ekonomi dunia. Agus mengatakan, saat ini kondisi perekonomian dunia penuh ketidakpastian.
Meniru konsep China yang pernah melakukan devaluasi etrhadap Yuan selama 3 hari berturut-turut awal bulan ini, nampaknya belum menjadi solusi mengatasi keoknya Rupiah.
Bank sentral Tiongkok (PBoC) mendevaluasi mata uang yuan pada sebesar hampir dua persen terhadap dolar AS.
Menurut Agus, cara pelemahan mata uang nasional atau devaluasi adalah bukan salah satu cara terbaik bagi Indonesia.
“Tren pelemahan mata uang di negara lain, belum tentu berhasil di Indonesia, karena Indonesia juga masih tergantung pada ekspor dan impor primer,” kata Agus D.W Martowardojo, hari ini, Senin (24/8).
Ia menjelaskan jika kebijakan devaluasi bisa diterapkan pada negara-negara yang berbasis ekonomi pengolahan produksi atau negara penghasil sumber daya alam beserta pengolahan turunannya.
Sedangkan Indonesia saat ini dinilai masih memiliki rasio 50 berbanding 50 dalam hal produksi, bahkan untuk kebutuhan primer masih bergantung pada sektor ekspor dan impor, karena sumber daya alam masih berupa mentahan yang diekspor.
BI memberi solusi bagi pelemahan Rupiah dengan meminta para eksportir sudah waktunya melepas atau menjual valuta asing yang di miliki.
“Pelepasan valuta asing akan membantu menyeimbangkan nilai tukar rupiah, saya rasa sekarang sudah saatnya bagi eksportir,” kata Agus.
Ia menyatakan kondisi rupiah saat ini sudah undervalue, maka harus diambil respon atas semua tindakan tersebut. Salah satunya maka dengan intervensi dari BI terhadap keseimbangan penarikan rupiah.
Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Treasury PT Bank BNI Tbk menjelaskan, pelemahan rupiah masih disebabkan oleh devaluasi yuan. Sehingga, bursa Shanghai pun anjlok 8,49% menjadi 3.209,91.
Merosotnya kinerja bursa China juga turut menyeret bursa saham domestik. Lihat saja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok 3,97% menjadi 4.163,73.
“Ada kekhawatiran pasar terhadap negara-negara berkembang. Termasuk Indonesia, sehingga terjadi capital outflow,†ujarnya.
Senada, analis PT Monex Investindo Futures Faisyal menjelaskan, pelemahan rupiah dipicu oleh sentimen negatif devaluasi yuan. Padahal, di saat yang sama, dollar AS sedang melemah. Pada Senin (24/8) indeks dollar AS turun 0,74% menjadi 94,304.
“Tapi Rupiah belum mampu memanfaatkan momentum dollar AS yang koreksi,†tukasnya.
Sore ini, pasar saham London, Paris dan Frankfurt anjlok karena kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi China terus menghantui para penanam modal.
Indeks FTSE 100 London turun 2,6% pada perdagangan Senin pagi (24/08), sementara pasar-pasar utama di Prancis dan Jerman kehilangan hampir 3%.
Saham Asia juga terkena dampaknya, dengan Shanghai Composite di China turun 8,5%yang terburuk sejak tahun 2007. Pemerintah China dipandang gagal menenangkan para investor.(wol/bbc/ktn/hls/data2)
Discussion about this post